Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/166

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Bapak itu berhenti sebentar. Ia tidak berkata apa-apa dan menghela napas. “Mana saya tahu!” serunya.

Sekarang, bapak itu benar-benar marah sehingga kami buru-buru pergi dari toko itu. Orang-orang yang lewat di jalanan menatap kami dengan heran.

“Sadis! Kalau penjualnya galak begitu, bagaimana bisa ada yang mau beli!” celetuk Desi.

“Iya, tuh!” sahutku lesu.

“Jadi..., toko kue itu tidak ada, ya?” gumam Desi.

Kali ini dia tidak menatapku. Ia memandangi langit yang begitu cerah dan sedikit berawan. Rambutnya yang sebahu dan lurus itu berkilau ditimpa sinar matahari, berbeda dengan rambutku yang pendek. Kadang-kadang teman-temanku mengira aku ini tomboy.

“Hei!” seru seseorang.

Kami berusaha mencari asal suara itu, tapi tidak terlihat seseorang yang berada di dekat kami.

“Aku di sini! Di atas!” serunya lagi.

Kami pun memandang ke atas. Seorang anak laki-laki yang sebaya dengan kami sedang duduk di atas pohon. Dia sangat menarik perhatian dan sambil tersenyum ia melambaikan tangannya.

“Siapa kamu?” ucapku penasaran.

Sebelum menjawab pertanyaanku, ia turun terlebih dahulu. Lalu, ia mengulurkan tangan kanannya padaku.

“Halo, namaku Adi Prabowo. Panggil saja, Adi,” ucapnya tegas.

“Aku Riska Andini, panggil saja, Riska. Dan, yang ini Desi Angraini, biasanya dipanggil Desi,” ujarku memperkenalkan diri.

“Oh...,” gumamnya setelah bersalaman.

“Kalau tidak salah, kalian baru saja dari toko itu, kan?” ucap Adi sambil memandangi toko itu.

Kami kembali teringat tentang bapak yang galak tadi. Aku benar-benar belum pernah dimarahi oleh seorang penjual.

“Mengapa? Kalian juga dimarahi, ya?” tanya Adi menebak-nebak.

“Iya, Mengapa kamu bisa tahu?”

“Yah..., karena toko kue yang misterius itu barangkali?