Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/164

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

“Iya, iya! Aku ceritakan, deh!” ujarku kemudian.

Lalu semua yang kualami kuceritakan kepada Desi. Sambil mendengar, kadang ia membekap mulutnya seolah tidak percaya.

“Ya ampun, Ris! Aku benar-benar tak percaya ada toko seperti itu! Namanya Toko Kue Ram, kan?” ucap Desi akhirnya.

“Ya, benar,” gumamku.

Entah mengapa perasaanku lega setelah menceritakan hal ini kepada seseorang. Walaupun orang dewasa takkan percaya, aku yakin Desi mau mempercayaiku.

“Jadi ..., bagaimana kalau kita ke sana setelah pulang sekolah?” celetuk Desi.

“Hah? Untuk apa?” tanyaku kaget.

Aku berpikir mungkin saja pemilik toko kue itu sengaja berpakaian begitu, atau sebenamya celemeknya sedang dicuci dan ia terpaksa memakai celemek istrinya. Tapi..., sepertinya mustahil.

“Baiklah! Kita pergi ketoko itu pulang sekolah!” sahutku akhimya.

Seperti yang telah kami sepakati, kami akan ke toko itu setelah pulang sekolah. Dari mendengar ceritaku saja, Desi sudah penasaran dengan toko itu, Apalagi kalau dia sendiri yang mengunjungi toko itu, pasti dia akan semakin penasaran.

“Hai, Ris! Sudah lama menunggu ya!?” seru Desi yang baru saja keluar dari kelasnya.

“Ya, aku maklum, kok. Habis, kamu di kelas unggul, sih! Makanya pulangnya lebih lama dari yang lain,” ujarku sambil tersenyum.

Tanpa basa-basi, kami pun langsung menuju toko itu. Suasananya lain dengan suasana tadi malam. Semua toko buka dan banyak orang hilir-mudik dijalan, tidak seperti tadi malam yang sepi dan semua toko tutup.

“Di mana tokonya, Ris?” tanya Desi yang mulai merasa gerah karena berjalan jauh dan suhu udara yang panas.

“Sebentar lagi sampai! Itu dia!” seruku langsung menunjuk toko itu.

Tapi, ada sesuatu yang aneh. Papan yang terpasang bukan

bertuliskan “Toko Kue Ram”, melainkan papan usang

152