Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/160

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Mak Idai tepat berada di hadapanku. Aku semakin terenyuh dengan keadaannya. Wajah Mak Idai pucat, tak ada rona kebahagiaan tergores di sana. Namun, secercah senyum menapak di mukanya, menandakan ia siap meraih kebahagiaan itu lagi.

Tapi, senyum tak hanya cukup menyiratkan itu. Lingkar hitam di bawah matanya juga menyiratkan bekas kepedihan yang selama ini ia tahan. Tonjolan pipi juga memperjelas kepenatannya dalami merangkul masalah yang tak sanggup ia pikul sendiri.

Helaian putih ikut mencuat di sela-sela rambutnya, seakan ikut menyuarakan, betapa malangnya nasib Mak Idai yang masih muda dirasa.

Ahh...., Mak Idai, Kau begitu kelihatan sangat tua, padahal masih berusia 35 tahun, batinku berucap.

Aku menyalami Mak Idai, mencium punggung tangannya. Ia membelai kepalaku. Entah dorongan apa yang menghampiriku, aku langsung memeluk Mak Idai, mencurahkan perasaan dengan derai air mata di dadanya, yang masih nyaman kurasa. Aku pun merasakan tetesan hangat air matanya jatuh di pundakku.

Suasana menjadi semakin terharu karenaku. Ibu dan Tante Umi ikut meneteskan air mata. Aku sebenarnya takut melakukan ini karena ayah pernah berkata, “Jangan pernah bergantung kepada Mak Idai lagi.” Tapi, batinku berkata lain, aku merasa sangat membutuhkan Mak Idai karena aku sangat menyayanginya. Untunglah, ayah tak lagi menyiratkan kemarahannya.

".. Sudahlah Idai, hendaknya kaujejakkan dulu kaki di rumah kakakmu. Sudah terlalu lama kamu pergi dan sekarang lihatlah rumah kakakmu ini, sangat merindukan kehangatan darimu..,” Tek Ida berujar menenangkan suasana.

Aku melepaskan pelukan itu. Mak Idai menghapus air matanya, dan berjalan ke dalam rumah. Aku lalu beralih menyalami Tante Umi dan mencium Iva, anaknya Mak Idai.

Kami pun bersama-sama melepas kerinduan di hamparan tikar yang kubentangkan di ruang tamu. Mak Idai

148