Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/157

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Dengan berat, kubuka mata. Kumelangkah dengan gontai ke arah pintu karena kutahu ibulah yang memanggilku.

Aku tak sabar jua ingin menyakan mengapa akhir-akhir ini Ibu selalu pulang larut malam. Pintu kubuka, niatku, pertanyaan itu akan segera kusodorkan ke hadapan ibu, tapi terpaksa tersekat di ujung lidah. Mata ibu sembab. Kelihatannya ibu seperti menangis lama. Ada masalah berat yang terjadi, pikirku tak ingin menambah beban ibu.

Pintu kubuka lebar, ibu masuk dan langsung menuju dapur. Mereka tak ada yang berkomentar, baik ayah, ibu maupun kakak. Tubuhku jadi mematung di depan pintu,

“Tih...,” suara berat Ibu memanggil. “Iya...,” sahutku.

Aku beranjak ke dapur. Ibu minta tolong disiapkan makanan buat Ayah, “Jangan lupa secangkir teh,” Ibu berpesan sebelum berlalu dari hadapanku. Aku mengangguk dan langsung mengerjakan itu. Makanan Ayah kuhidangkan di meja makan di ruang makan. Tentu dengan secangkir teh hangat. Setelah kusajikan, aku pun beranjak ke lantai dua, tepatnya ke kamar, untuk menidurkan malam di mata yang mulai berat.

***

Mentari belum kulihat melongokkan sinarnya, tapi dering jam bekel berulang kali kudengar di samping tempat tidur, memaksaku untuk bangun. Aku heran siapa yang menyetelnya. Jarum kulihat ada di angka 5, masih pagi, pikirku.

Tapi hati kecilku berkata, ayo bangun, pasti ada sesuatu yang penting dibicarakan oleh kakak, ibu, atav ayah hingga mereka menyetel alarm untukku. Dengan langkah gontai, kubawa badan ke kamar mandi.

Aku sedang bercermin di depan kaca. Kak Ari kudengar mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Aku menyuruhnya masuk. Suara pintu kudengar berdecit di pagi ini. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi, swasana masih remang-remang.

“Tih..., boleh bicara sebentar?" Kak Ari menyuruhku duduk di sampingnya, di atas tempat tidurku.

“Mmm....,” kataku sembari duduk.

145