Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/156

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

mudah-mudahan tahun ini masalah Ibu bisa selesai dengan Mak Idai,”kKak Ari mencoba menenangkanku.

“Tapi, siapa, Kak, orang yang akan membawa masalah ini ke permukaan? Umur Ratih hampir menginjak usia 17 tahun. Tahun depan Ratih akan merantau ke negeri orang, menuntut ilmu. Kakak, kan, tahu, Ratih bercita-cita masuk STAN". Kapan waktunya Ratih melihat senyum Ibu lagi, Kak?” Aku semakin tak kuasa meluapkan rasa yang mengganjal di hati.

Kak Ari masih membisu. Ja kelihatan sibuk dengan pikirannya sendiri, membayangkan ucapanku tadi. Aku masih terpaku pada pantai, yang sebentar lagi akan dihampiri senja.

***

Sudah hari ketiga Kak Ari kulihat pulang larut malam. Malahan, tadi malam Ibu juga ikut pergi dengan Kak Ari, tak tahu ke mana. Aku semakin bingung, ribuan tanya singgah di benakku.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ibu dan Kak Ari masih bercerita di luar, Ayah kudengar juga ikut serta. Aku tadi sempat tertidur beberapa jam. Namun, karena mendengar suara bisik di luar, aku jadi terbangun.

Kudengar Ibu menangis. Setelah kuteliti, ada nama Mak Idai yang disebut-sebut. Pikiranku semakin bertanya, ada apa dengan Mak Idai? Mengapa Ibu tiba-tiba membicarakan Mak Idai tengah malam begini? Apakah karena ucapanku kepada Kak Ari? Ah.., pikiranku semakin berkecamuk. Tak bisa aku menemukan jawabannya, kutarik saja selimut hingga ke dada. Aku kembali menidurkan mata, diiringi langit malam yang semakin lama turun ke bumi.

***

Jam menunjukkan pukul 9 malam. Ibu dan Kak Ari tak jua kunjung datang. Persis, seperti kemarin, mereka akan pulang larut malam lagi. Mataku semakin berontak untuk ditidurkan. Tak kuasa aku menahan kantuk, aku pun tertidur di depan TV, di ruang tamu dengan luas 5 x 6 m itu.

“Tih..., Ratih...” samar-samar kudengar suara orang memanggil.

144