Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/155

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

simpan. Terus teranglah, siapa tahu Kakak bisa membantu," ujar Kak Ari sembari duduk di samping kananku, melihat semburat senja yang hampir tenggelam.

“Tidak tahulah, Kak. Tadi malam Ratih bermimipi. Mak Idai serasa datang ke rumah kita, tapi hanya Ratih yang menyambutnya. Dia menanyakan Ibu dan Ayah, wajahnya sendu, seakan habis menangis. Lalu, Ratih menjawab, Ibu sedang ke pasar. Mak Idai menepuk-nepuk pundak Ratih, Kak. Ia tersenyum, kemudian kembali berkata, jaga ibu, ya, Tih. Jangan buat dia banyak berpikir. Jangan seperti mamak, terlalu egois, tak mau mendengar kata yang benar,” aku memaku pada lantai.

“Kemudian, ia pergi setelah membelai rambut Ratih, Kak. Sekarang Ratih jadi memikirkan Mak Idai. Ada apa ya, Kak?" aku menjelaskan maksud hati yang risau.

“Tidak tahulah, Dik. Barangkali dia teringat dengan kita, terlebih Ibu, kakaknya. Taragakjo rumah gadang, kata orang tua,” jawab Kak Ari.

“Mungkin juga, Kak. Ratih jadi teringat peristiwa 3 tahun lalu di rumah gadang Tek Ina. Sudah Jama ya, Kak, Ibu dan Mak Idai bertengkar. Padahal, hanya karena perbedaan adat antara kita dan Tante Umi, istrinya Mak Idai. Yaa, kita kan sama-sama tahu, Tante Umi urang sanang, sudah kaya sedari dulunya. Mungkin itu yang membuatnya seperti itu,” aku berhenti sejenak sambil menarik napas.

“Hampir lima kali pula hari raya datang ke rumah, mereka tetap bersikukuh,” kataku semakin melemah, agak iba melihat keadaan keluarga yang seperti ini.

“Kak, Ratih kangen sama suasana bahagia di rumah gadang kita. Kakak masih ingat, kan? Tiap minggu di bulan puasa, Mak Idai selalu datang ke rumah kita dengan Tante Umi. Sehabis pulang salat Id, kita yang selalu berkunjung ke rumahnya untuk silaturahmi. Esoknya, kita bareng-bareng pulang ke kampung, ziarah ke kuburan Nek Tina. Iya, kan, Kak?” kataku mulai menitikkan air mata.

“Ratih rindu dengan keadaan itu, Kak," ucapku lagi, Kurasakan kehangatan pelukan Kak Ari, ia merangkulku.

“Kakak tahu, Tih. Tapi apa boleh buat, mendung tak kunjung beralih dari gonjong rumah gadang kita. Bersabarlah.

143