Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/154

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

 “Biarlah, Sutan, si Siti melepaskan hatinya yang semakin iba, maklumlah perempuan. Dengan cara begini kami mampu melepaskan,” ujar Tek Ina lagi.

 Datuk di rumah gadang itu pun mulai mengambil alih permasalahan. Sambil menyulut rokok sebatang, ia mulai menengahi.

 “Siti, kami juga merasakan betapa sedihnya hati kau diperlakukan begitu oleh adik kandung sendiri, mamak bagi anak-anak kau. Tapi sudahlah, api tak perlu ditambah minyak, semakin terbakar pula ia di dada. Kau selaku kakak, hendaknya mengalah kini. Jikalau kau teruskan adu bicara, bagai mencari jarum di tumpukan jerami nantinya. Kalau kau mau mendengar, kita putuskan kata sepakat malam ini. Kita lepas adik nan satu itu, biar terasa pula olehnya, di mana kesalahannya memilih dan memilah yang benar. Percayalah Kau, Siti, suatu saat kebenaran itu akan datang,” ujar Datuk, orang yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah di adat Minangkabau itu, menengahi.

 “Betul, Siti. Kini benar-benar kita lepas ia ke tengah. Biar mancubo pula ia, nan asam garam kehidupan itu. Percayalah, kalau adat minang yang ditentang, ndak kan ado tiang untuak bagantuang,Tek Ida kembali menegaskan kata Datuk.

 “Iya, Siti. Ambo kan masih hiduik, Kakak dari orang tua kau. Kita lihat bersama, sukses ndak ia mengambil keputusan,” Nek Ana, kakak nenek, yang duduk di balairung rumah gadang, menambahi.

 Semua yang mendengar pun mengangguk-anggukkan kepala, pertanda setuju dengan keputusan Datuk malam itu.

***

 “Ratih, ada apa gerangan adik bermenung?” Kak Ari, kakakku, datang menghampiri dari dalam rumah.

 Aku yang sedang duduk di beranda lantai dua, rumah yang menghadap ke arah pantai Padang, terbata-bata menjawab.

 “E..., nnggak... Kak. Nggak ada apa-apa, kok,” ujarku beralih.

 “Janganlah berbohong, Dik. Kakak tahu gundah yang kau

142