Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/153

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

"H..h..h.., tak bisa begini, Datuk. Seharusnya ia sadar dan bisa menilai, mengapa orang lain bisa berpikiran seperti itu kepada istrinya. Lalu mencoba melihat sisi kebenarannya, kan? Tapi dia? Selalu begitu, dialah yang benar, orang lain tak pernah dianggap olehnya," suara Ibu terisak.

"Hal ini tak bisa dibiarkan begitu saja, Datuk. Masalah ini sudah semakin besar dan harus segera diselesaikan. Dua tahun bukan waktu yang sing...kat, Daa..tuk. Kami sudah tak sanggup menahan egonya yang terlalu tinggi," ujar Ibu dengan senggukannya. Sementara itu, Mak Idai merasa sudah muak dan acuh saja dengan komentar Ibu.

"Sudahlah, Tuk. Perempuan selalu saja begitu. Dengan isak tangis juga ia mengiba. Jikalau begini terus, biarlah masalah semakin mengambang. Saya selaku mamak dari kemanakannya di rumah gadang nan tuo, kini lepas tangan. Coba saja diperturutkan kata kakak, tu. Saya lepas segala masalah di sini, di rumah gadang nan batuah, rumah gadang urang Piliang. Saya turun dari rumah, assalamualaikum." Mak Idai berdiri dan berjalan ke tengah ruangan lalu turun ke jenjang dan berlalu dari hadapan kami.

Semua yang berada di rumah gadang saat itu geleng- geleng kepala melihat tindak Mak Idai saat turun dari rumah, kelihatan sangat kanak-kanak. Ibu apalagi, ia semakin terluka dengan kata-kata Mak Idai yang sangat menyinggung, seakan- akan hanya Mak Idai yang benar, begitulah pendapatkn saat itu walaupun belum tahu apa permasalahan yang sebenarnya. Tapi, aku yang duduk di sebelah ibu, di depan bilik tepi rumah gadang, hanya terpaku pada air teh dalam teku yang disajikan etek Ina, yang rumah gadangnya dipakai saat ini untuk menyelesaikan masalah. Aku tak mampu menyanggah karena masih dianggap kecil, masih ketek, itulah ungkapan mereka.

Suara tangis ibu semakin meninggi. Ibu menepuk-nepuk dadanya dan menghentakkan kaki ke lantai kayu rumah gadang. Tak lepas juga, etek-etek, saudara ibu yang tak senenek ikut menjatuhkan air mata karenanya. Ayah, sebagai sumando di rumah gadang ibu, hanya terpaku mendengar. la mencoba menenangkan ibu yang semakin keras tangisannya.

"Sudahlah, Siti, tak perlu kau tangiskan lagi. Yang ada ya begitu," ujar Ayah kepada Ibu.

141