Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/15

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

demi nenek aku kuatkan juga berbaur dengan ibu-ibu itu.

Sesampai di pasar, aku sempat bingung juga. Bakiak seperti apa yang sesuai dengan nenek. Pasar yang sekali sepekan di kampungku ini masih pasar tradisional, jadi barang seperti bakiak tidaklah sulit dicari—bahkan sangat mudah didapat—dan jenisnya pun bermacam-macam.

Akhirnya, aku memilih bakiak yang kayunya ringan, tetapi kuat dan tahan lama. Aku berpikir nenek akan lebih mudah memakainya. Warna bakiak ini tentu juga nenek akan suka karena nenek tidak suka dengan warna yang mencolok. Tentu saja harga bakiak ini lebih mahal daripada harga bakiak biasa. Tapi, itu tidaklah menjadi soal bagiku, asal nenek senang menerimanya. Harga yang agak mahal tidak akan berarti apa-apa.

Setelah bakiak itu dibungkus dan dibayar, aku langsung pulang. Tujuanku ke pasar hanya membeli bakiak ini, tidak ada yang lain. Aku bergegas pulang, tidak sabar memperlihatkan bakiak ini kepada nenek. Baru satu langkah memasuki halaman rumah, tiba-tiba ada yang memanggilku.

“Asalamu alaikum!”

“Alaikum salam! Oh, Pak Garin! Ada apa, Pak?”

“Setelah salat Subuh tadi nenekmu melapor telah kehilangan bakiak. Ia meminta saya mengusut pencurinya.”

“Iya, Pak. Tapi, tidak usahlah diusut pencurinya, saya sudah ikhlas. Ini saya belikan nenek bakiak baru, sudah tidak jadi masalah lagi, Pak!”

“Tapi, nenekmu kelihatan sedih sekali kehilangan bakiaknya itu dan sepertinya nenekmu belum rela kehilangan bakiaknya?”

“Melihat bakiak baru ini saya yakin nenek senang dan lupa akan bakiaknya yang hilang itu.”

“Kalau begitu, saya juga ikut senang. Saya permisi dulu, mau ke pasar membeli keperluan masjid.”

“Terima kasih, Pak! Maaf telah merepotkan.”

“Tidak apa-apa. Asalamu alaikum!”

“Alaikum salam!”

Ah, nenek ada-ada saja. Pakai mengadu segala ke Pak Garin. Sambil terheran-heran dan senyum-senyum sendiri, aku terus melangkah menaiki tangga rumah.

3