Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/149

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

guru di kota itu. Sekarang ia tidak lagi bercerita tentang anak lelakinya yang bekerja di kantor walikota itu. Begitulah caranya ia bercerita, melompat-lompat tak menentu. Anak perempuannya itu bisa saja ditempatkan di Selatan sana, ke arah perbatasan, seandainya ia tak pandai-pandai mendekati petugas pengangkatan.

“Menjadi guru di Selatan, seperti mengajar beruk membaca,” ia semakin menjadi-jadi.

Sewaktu suaminya masih ada, mereka tinggal di kota kecamatan yang ramai. Suaminya seorang toke cengkeh dan pala yang memiliki sebuah gudang penampungan di Kota kecamatan itu. Dan, suatu malam semua habis terbakar, juga suaminya! Sejak itu, ia membesarkan sepasang anaknya sendirian. Dan menurut pandangannya sendiri, ia berhasil.

“Hanya sedikit sekali buku-buku dari dinas pendidikan yang sampai ke Selatan,” ja melanjutkan, “dengan hari libur yang panjang. Jika damar telah berbuah, cengkeh, dan cokelat telah masak pula, nyaris tak ada lagi sekolah. Semua murid dibawa ayah ibunya masuk rimba.”

Ia jarang bisa diam dengan siapa pun. Ketika seseorang datang bertamu, mukanya seketika terlihat cerah. Dan ia bahagia, sebab menantu dan anak lelakinya akhir-akhir ini semakin sulit diajak bicara. Beberapa minggu ke depan, ia telah berada di rumah anak perempuannya yang guru itu, yang tinggal beberapa kilometer di Utara, dekat pabrik semen terbesar di kota itu bersama suaminya, seorang pegawai rendah di Kantor Pekerjaan Umum.

Ia mengeluhkan anak laki-lakinya yang tak memperhatikannya lagi dan menantunya yang sulit diajak bicara akhir-akhir ini, Sesekali ia berbicara sendiri tentang menantunya yang lain, pegawai rendah di Kantor Pekerjaan Umum itu, yang tak bisa memanfaatkan kesempatan menggelapkan uang di tempat kerjanya, yang akhir-akhir ini seringkali disebut-sebut warta televisi. Dan, setiap kali ia berbicara dengan anak perempuannya tentang itu, anak perempuannya malah tampak ketakutan.

Pedagang guci, terlihat dari raut wajahnya, tak terlalu hirau pada cerita itu. Ia malah sedang berpikir kilat, mematok-matok harga terakhir yang akan ia jatuhkan. Ia sama sekali

137