Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/140

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Udara pagi menyejukkan hatiku,
begitu pula dengan rangkaian kata dari bibir manismu
Aku terharu, terbelai dalam kesepianku...

Di taman kota, aku duduk sendirian di bangku taman sambil memandangi Mbak Aya yang sedang bercanda ria bersama segerombolan anak kecil di tepi kolam utama. Aku tersenyum, merasakan betapa bahagianya anak-anak kecil itu. Walaupun mereka berpakaian lusuh, wajah yang dinodai oleh debu, badan yang kotor oleh pasir ataupun tanah, mereka tetap riang dan gembira. Andaikan aku mampu seperti itu.

“Ra, kamu kok nangis lagi, sih? What's up, Dik?”

Tiba-tiba Mas Heru sudah berada di belakangku dan membuyarkan lamunanku. Dan, aku pun terkejut karena sedari tadi aku tidak menyadari bahwa pipiku sudah dibanjiri air mata. Aku mengusap air mataku perlahan.

“Ra, Ra cuma merasakan kebahagiaan mereka, Mas..., Ra berpikir, seandainya Ra mampu seperti mereka.”

Aku tak mampu menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya kepada Mas Heru. Sekuat apa pun aku mencoba, semakin mudah kata-kata itu meluncur dari mulutku.

“Ra, coba, deh, Ra perhatikan perempuan kecil yang duduk di tengah itu,” Mas Heru menunjuk ke arah seorang gadis kecil yang duduk di tengah rombongan Mbak Aya yang sedang bermain. Aku menatap lurus ke sana, tanpa berkedip.

“Dia itu lumpuh juga. Kedua orang tuanya juga sudah meninggal sejak dia masih kecil. Dan, dia hidup sebatang kara. Benar-benar sendiri. Dia hidup hanya dengan meminta belas kasihan dari orang-orang di sekitarnya. Sekarang dia tinggal di kolong jembatan,” Mas Heru menarik napas sesaat. “Tapi, dia tidak pernah menyesali hidupnya yang tidak seberuntung anak lain. Dia begitu tegar menghadapi kehidupannya itu. Mas pernah tanya sama dia, kenapa dia bisa begitu tabah. Kamu tahu dia menjawab apa?” Aku menggeleng cepat.

“Apa pun yang terjadi, hadapilah dengan mata terbuka karena bagaimanapun juga, ini adalah hidupmu.”

“Aku tertegun. Bagaimana mungkin seorang gadis kecil — yang kira-kira berusia sepuluh tahun — bisa berkata sedewasa itu. Tidak seperti aku yang...”