Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/139

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Ra enggak boleh "menangis semalam' lagi. Sudah berapa minggu coba, Ra, seperti ini terus? Apa Ra enggak capek nangis terus? Sekarang, Fara, senyum, dong.”

Aku mencoba untuk tersenyum walaupun air mataku masih menetes. Mbak Aya mengusap air mataku. Hatiku menjadi damai seketika.

“Mbak, Mbak Aya ke mana aja, sih, belakangan ini? Kok kita enggak pernah ketemu?” tanyaku penasaran.

“Mbak Aya harus menyelesaikan semua urusan di kantor ayah Ra. Banyak banget deh, Ra, apalagi...” Mbak Aya menghela napas panjang dan berkata lirih, “... setelah ayah Ra nggak ada."

Aku termenung dan perlahan, air mataku menetes kembali. Aku baru sadar betapa berartinya ayah di perusahaan itu.

Tiba-tiba Mas Heru muncul dari balik pintu kamarku.

“Pagi-pagi udah sedih. Gimana siangnya? Go, go, go, Cheer up, girls..., semangat, dong! “

“Aduh, Heru! Lu tu, ya, bisanya cuma mengacaukan suasana! Kita kan cuma meresapi perasaan sebagai cewek sejati. Ini urusan cewek, tau, Lu nggak bakal ngerti! Udah, mendingan lu sekarang mandi trus temanin kita berdua ke taman kota!”

Sedetik kemudian dua anak kembar itu tarik-tarikan di kamarku ini. Namun tak lama karena Mas Heru mengalah dan keluar sambil bersungut-sungut kecil.

“Masa maunya ke taman kota enggak pake mandi dulu? Yang ada nantinya kita dijauhi orang gara-gara baunya yang hh...” Mbak Aya kembali duduk di dekatku.

“Emangnya kita mau ke taman kota ngapain, Mbak?”

Mbak Aya menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku.

“Fara..., kamu masih belum sadar ya, kepala kamu itu mau diapain? Kamu itu butuh penyegaran biar enggak ada lagi program 'menangis semalam' ala Audy-mu itu. “Ngerti? Mbak Aya kemudian membantuku naik ke kursi roda dan mendorongku ke kamar mandi.

***

127