Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/138

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

ayah dan bunda di saat seperti ini, Mbok.”

Aku kembali menangis sedih di pelukan Mbok Darmi. Memang sulit bagiku menerima kepergian kedua orang tuaku.

“Sudahlah, den..., kan ada Mbok di sini. Mbak Aya juga. Mas Heru juga,”

“Tapi, Ra mau ayah dan bunda, Mbok.”

Dan langit pun semakin memerah, seakan ikut meratapi nasibku. Aku masih menangis di pelukan Mbok Darmi.

* * *

“Selamat pagi, Adikku yang manis.”

Suara Mbak Aya yang lembut membangunkanku. Aku mengusap mataku dan menatap ke sekeliling, memastikan bahwa mataku masih bisa melihat dengan jelas.

“Ayo bangun, Ra, pasti enggak salat Subuh. Ketiduran, ya?” Mbak Aya lantas membantuku duduk.

“Ra kecapean, Mbak, lagi pula Mbak Aya nggak bangunin Ra, sih,” aku berkilah.

“Kecapean kenapa? Masih 'menangis semalam' lagi?”

Aku tertunduk dan diam. Dalam diam aku menangis. Mbak Aya melihatnya dan langsung memelukku. Aku makin membenamkan kepalaku di pelukannya.

“Ra hanya ingin bertemu dengan ayah dan bunda, Mbak, Ra berpikir mengapa Allah tega memisahkan Ra dengan ayah dan bunda. Ra tidak pernah menyesali kaki Ra yang lumpuh ini. Ra hanya enggak ingin berpisah sama ayah dan bunda, Mbak.”

“Fara, kamu tidak boleh berpikir Allah sejahat itu sama kamu, Dik. Semua ini sudah takdir kamu, jalan hidup kamu. Allah selalu sayang sama kamu. Buktinya, kamu masih diberi kesempatan untuk berbicara dengan ayah walaupun sebentar. Mbak Aya saja tidak pernah berbicara dengan bapak. Begitu juga dengan Mas Heru. Kami hanya bisa mengenal bapak melalui foto. Itu pun tidak begitu jelas. Kamu jauh lebih beruntung, Ra, bisa hidup bahagia bersama kedua orang tuamu hingga kamu beranjak dewasa, 18 tahun, Ra, apa selama itu belum cukup? Kalau Mbak Aya jadi kamu, Mbak enggak akan se-down ini, Ra. Percayalah, di balik ini semua, pasti Allah punya rencana yang indah untuk kamu. Sekarang

126