Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/133

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

mempunyai delapan tempat yang mengalirkan air ke kolam. Ikan-ikan melenggok di dalamnya. Di sekeliling kolam ada bangku-bangku kayu, seperti bangku taman. Kupilih duduk di tempat yang menghadap ke lukisanku untuk mengamati siapa saja yang tertarik dengannya atau sekadar menyaksikan bagaimana ekspresi mereka ketika melihatnya.

Sudah beberapa jam aku duduk di sini. Rasanya sudah sangat lama sekali. Puluhan orang telah lewat di hadapanku. Sebanyak itu pula yang melirik lukisanku. Namun, hanya sebagian saja yang berhenti, menatapnya lama-lama. Mereka mengerutkan kening, tersenyum, dan menggeleng-geleng. Ada juga yang meraba teksturnya. Dan itu benar-benarsangat menggangguku.

“Sedang menunggu seseorang?" seorang teman mengagetkanku dari lamunan.

“Ah, tidak juga,” sahutku.

“Oo, bagaimana kalau kita cari makan siang?”

“Maaf, Gas! Aku tidak lapar.”

“Baiklah!” ucapnya sambil berlalu. Dan mataku mengantarnya hingga pintu keluar.

Dari arah pintu itu terdengar suara ribut, “Aku belum mati.”

“Tapi, bagiku, ya! Pergi tanpa pernah kembali mengunjungi anak istrimu selama bertahun-tahun dan tanpa kabar sedikit pun. Apa namanya, kalau bukan sudah mati?”

“Ya! Lalu, katakan bagaimana aku bisa muncul di depanmu dan di depan anak kita, kalau kau telah membuat nisan untukku dan menziarahinya setiap tahun. Lalu, orang macam apa kau?”

Ada suara orang-orang bertengkar di luar. Tapi mereka belum juga muncul dari pintu. Suara-suara itu terasa sangat akrab denganku. Itu seperti suara yang sering kudengar di malam-malam terakhir keberadaan Papa. Ya, suara ribut dan pertengkaran.

“Ah, apa yang kupikirkan?” sabutku pada diri sendiri. Itu tak mungkin terjadi! Mama tidak akan datang karena kutahu ia sangat keras kepala. Lagian, ia bertengkar dengan siapa di luar, Barangkali... Ah, itu jauh lebih tidak mungkin! Tiba-tiba sesosok perempuan muncul di depan pintu masuk

121