Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/130

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Potongan pundak hingga pinggang, dengan tangan bersilang di depan dada seolah tengah mendekap sesuatu erat ke dadanya yang bidang, memiliki sepasang sayap putih perkasa di belakangnya. Di atas kanvas 100 X 50 cm, cat minyak.

“Lagi-lagi malaikat, ya?” Laila tiba-tiba menggangguku.

“Bukan!”

“Lalu?”

“Lelaki bersayap!”

“Lelaki? Mengapa tak utuh?”

Aku diam, tak mau repot menjawabnya.

“Aneh!”

“Biar saja!”

“Kau yakin gambar ini yang akan diikutsertakan dalam pameran lukisan minggu depan?”

“Ya.”

“Kenapa tidak menggambar malaikat-malaikat yang biasa kaubuat? Paling tidak itu jauh lebih menarik.”

“Cerewet. Sejak kapan kau menjadi kritikus seni?” semprotku mengena.

“Iya! Kau boleh senang sekarang. Aku akan pergi dengan Bayu dan akan menginap di luar malam ini. Jadi, rumah ini milikmu seutuhnya, Kau bisa bersenang-senang!” ucapnya seraya meninggalkan kamarku.

“Baguslah! Aku memang butuh ketenangan untuk menyelesaikan lukisan ini.”

Ia Laila, temanku satu kontrakan. Ia seorang penyanyi kafe. Pasangan yang serasi sekali denganku, seorang pelukis yang tidak jelas, terkadang mendapatkan bayaran dari melukiskan sketsa wajah seseorang di taman kota atau dimintai untuk melukis objek-objek tertentu secara khusus. Selebihnya, kuhabiskan waktu untuk melukis lelaki bersayap. Sosok yang selalu saja mengganggu pikiranku sejak dua puluh tahun silam.

  • * *

Senja telah semakin jauh menuju barat, sementara aku masih duduk termangu di sini. Terpaku menatap lukisan lelaki bersayap. Lukisan ini telah selesai, kupikir. Tapi, masih saja

118