Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/124

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Itulah hari kemerdekaan kita

Hari merdeka....Nusa dan bangsa....

Hari lahirnya bangsa Indonesia... Merdeka...

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Sampai di rumah, kutemukan rumah kosong. Tidak seorang pun kutemukan ada di rumah.

“Bang,” Arin, adikku, memanggilku dari kejauhan. Matanya merah, seperti habis menangis.

“Arin, ada apa? Apa yang terjadi?”

“Kakek...kakek kecelakaan, sekarang lagi di rumah sakit, keadaannya hu...hu...parah. Abang ... hu...hu harus segera ke sana.” Ya Allah, ada apa dengan kakekku? Tolong selamatkan Kakek, ya Allah. Badanku lemas, tanpa terasa air mata membasahi pipiku.

Dengan berlari aku mencari kamar tempat kakekku dirawat. Perawat mengatakan kalau kakek masih di ruang ICU. Sampai di sana ibu sedang melihat dari kaca pintu kamar ICU. Mata ibu tampak sembab, mungkin sudah terlalu lama ibu menangis.

“Aryo, kakekmu...sedang kritis. Kamu mau menemuinya, Nak sebentar?”

“Bu, Aryo akan menemui Kakek.” Setelah memasang pakaian steril aku melangkah masuk dengan hati-hati. Kulihat Kakek tidur dengan berbagai selang di tubuhnya. Keadaan seperti ini mengingatkanku kepada Bapak. Bapak dulu juga dirawat di ruang ini. Kudekati kakek dan kupegangi tangannya. Tangannya yang keriput begitu lemah. Kupandangi wajahnya yang pucat.

“Kek, ini Aryo. Aryo minta maaf sama Kakek. Selama ini Aryo sudah menjadi cucu yang durhaka. Maafkan Aryo, Kek.” Air mataku berlinang. Terbayang olehku saat-saat kami bertengkar. Aku menyesal.

“Aryo... Kakek ada di mana?” tiba-tiba kakek bergerak dan dia memanggilku lemah.

“Kek, Kakek sudah sadar? Kakek di rumah sakit.”

“Kakek bermimpi bertemu ayahmu.” Air mataku makin menjadi. Aku tidak kuat menghadapi hal seperti ini.

“Aryo, ingat pesan Kakek, isilah kemerdekaan bangsamu dengan kemerdekaan dirimu dari penjajah hatimu,” kata-kata