Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/123

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

salahnya aku membantu biaya pengobatan putrinya itu tanpa imbalan. Tapi, saat itu aku terlalu egois. Letnan Kolonel Ahmadi Riansyah Juanda Suwitomo, aku sangat berdosa kepadanya.” Kakek Lingga tampak kian hanyut dalam ceritanya. Matanya mulai berkaca-kaca dan suaranya serak. Hah... siapa? Siapa tadi nama yang disebutkannya? Samar-samar aku mendengar kakek Lingga menyebut Ahmadi Riansyah. Itu, kan, nama kakekku. Tidak mungkin, aku pasti salah dengar.

“Kamu boleh lihat semua penghargaan miliknya.”

“Aku mengambil sebuah piala kerucut emas. Piala itu sangat berat, mungkin seluruhnya terbuat dari emas. Tulisannya mulai buram dan tintanya mulai membaur. Aku berusaha mengeja nama pemilik piala itu. Tulisannya masih menggunakan ejaan lama. Diberi...diberikan di tahoen ...teruntuk...pah...pahlawan kemerdekaan Indonesia, jaitu, Let Letnan Kolonel Ah-madi Rian Riansyah Djuanda Soetomo eh Soewitomo. I..ni, kan, nama kakek. Nama kakekku, Ahmadi Riansyah Juanda dan... dan foto-foto itu juga kakek. Ya Tuhan, benarkah ini milik kakekku? Keringat dingin mulai membasahi tubuhku, jantungku berdegup kencang. Sekali lagi kueja nama pada piala dan kupandangi foto itu. Ya, dia memang kakekku.

“Aryo, kamu kenapa? Kamu sakit?” Lingga menanyaiku.

“Ti...tidak. Maaf, Lingga, aku harus pulang sekarang.” Aku berlari keluar. Sepatu kupasang asal dan aku terus berlari.

Kukejar bus di depan. Di dalam bus pikiranku kacau. Selama ini aku sangat bersalah kepada kakek. Aku tidak peduli dengan penghargaan itu. Aku harus pulang dan minta maaf kepada kakek. Tak berapa lama, aku turun dari bus dan menyusuri jalan setapak berdebu. Di bibirku tersunggng Senyuman. Dari kejauhan, kudengar sayup-sayup lagu kemerdekaan dinyanyikan. Itu pasti kakek. Tanpa sadar aku ikut bernyanyi.

Tujuh belas Agustus

Tahun empat lima

111