Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/119

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

benakku. Akhirnya, alunan bel tanda pulang berbunyi juga. Kami bergegas pulang. Setelah makan siang di kantin, aku dan Lingga langsung ke toko buku.

 "Yo, habis ini, temani ke rumah kakekku dulu ya?"

 "Katanya, tadi cuma ke toko buku."

 "Cuma sebentar, rumahnya juga dekat sini."

 "Cuma sebentar, kan?"

 "Yaiya, kamu harus kenal sama kakekku. Dulu dia berjuang membela bangsa kita ini dari penjajahan bangsa lain. Dia adalah pahlawan kemerdekaan bangsa. Kakekku sangat gagah berani. Dia mampu mengusir penjajah hanya dengan sekali dor."

 "Tung...

tunggu dulu. Kakekku juga dulu pejuang. Dia ikut dalam agresi militer I dan II. Dia bertempur di beberapa daerah di Jawa. Kakekku tidak pakai senjata api, cuma pakai bambu runcing," tiba-tiba saja dari mulutku keluar sedikit rasa bangga pada kakek.

 "Tapi, senjata yang digunakan kakekku hasil rakitannya sendiri, yang dia pelajari dari Belanda. Kakekku memang Sangat hebat."

 "Setelah Indonesia merdeka, kakekku pernah diajak Pak Hatta ke Paris.

 Tapi, kakek menolak."

 "Kali ini, kakekmu pasti kalah dibanding kakekku. Rumah kakekku dipenuhi penghargaan tanda jasa dari pemerintah. Ada piala, piagam, medali, dan foto-foto dengan para pejabat tinggi negara. Dan, rumah yang sekarang ditempati kakek merupakan hadiah dari pemerintah atas jasanya pada Agara," kata Lingga lagi. Aku terdiam. Semua yang dikatakannya benar. Kakekku memang tidak mendapatkan satu penghargaan pan. Paling paling hanya kertas undangan bekas yang dibangga-banggakan kakek sebagai bekas pejuang Aku sangat malu. Kalau saja saat ini Kakek ada di sini, dia Pasti akan kumaki Aku benar benar malu. Kebanggaanku yang tadi mulai terbit, kini tenggelam lagi.

 "Mengapa kamu diam? Kamu sudah kalah? Benar, kan, kakekku lebih hebat dari kakekmu. Kamu pasti senang dan bangga kalau temanmu ini punya kakek yang sangat bebat,"

107