Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/117

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

pejuang yang menyusahkan!

Pagi aku terlambat bangun. Aku langsung mandi dan salat Subuh. Aroma nasi goreng menusuk hidungku. Aku baru ingat tadi malam aku belum makan. Selesai berbenah aku langsung menuju meja makan. Dengan sigap kuisi piring dengan beberapa sendok nasi goreng dan kulahap dengan cepat. Dari dalam rumah kudengar lagi-lagi kakek menyanyi.

Tujuh belas Agustus tahun empat lima,

Itulah hari kemerdekaan kita...

Hari merde...ka huk...huk....

nusa...dan bang huk...huk...sa

Hari lahirnya huk...huk...

"Pak, minum dulu obatnya. Nyanyiannya dihentikan dulu."

"Kamu ini, persis almarhum ibumu. Selalu huk... huk...huk selalu mengganggu kesenangan Bapak kalau lagi menyan Kulihat dari dalam ibu mengobrol sama kakek. Entah apa yang mereka perbincangkan, sepertinya ibu tampak gembira. Mungkin mereka teringat kenangan lama. Arin, adikku yang di SMP, sudah berangkat sekolah. Sebelum ke sekolah Arin terlebih dahulu mengantarkan kue bikinan ibu ke warung-warung. Sebenarnya itu tugasku, tapi sejak dua bulan terakhir ini digantikan Arin. Kata ibu, aku harus lebih konsentrasi menghadapi ujian akhir bulan depan.

Ketika hendak melangkah keluar, kakiku seperti menginjak sebuah amplop berwama merah putih. Kuambil dan kubaca pada amplop itu. Kepada Yth. Bapak Ahmad Riansyah.

"Kek, ini undangan tujuh belasan," kataku seraya menyodorkan undangan itu.

"Alhamdulillah... sudah 55 tahun kita merdeka. Ternyata kakek masih diberi kesempatan untuk merasakan hari kemerdekaan ke-55 ini. Bangga sekali rasanya kalau kita mengikuti upacara bendera merah putih."

"Kenapa harus bangga, di sana, kan tidak dikasih hadiah atau penghargaan? Paling-paling nanti pulangnya dikasih uang dua puluh ribu untuk biaya transpor," cibirku sambil memasang tali sepatu dan berlalu pergi.

105