Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/116

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sesak dan jantungku berdebar kencang. Aku benar-benar benci kepada kakek. Dialah yang menyebabkan Bapak kecelakaan dan meninggal dunia.

"Pak, maafkan, Aryo. Dia masih belum dapat menerima kepergian Bapaknya," dari kamar kudengar Ibu berbicara dengan Kakek. Ibu sangat mengerti perasaanku. Aku belum bisa menerima kematian Bapak. Selain itu, aku merasa kasihan kepada Ibu. Karena dialah kini yang harus memban- ting tulang menghidupi kami. Kalau saja Bapak tidak meninggal dunia dalam kecelakaan itu, mungkin Ibu bisa lebih tenang dan kami tidak perlu didatangi para rentenir untuk menagih utang tiap minggu.

"Kamu jangan khawatir, Bapak mengerti. Dia masih muda dan labil," kali ini kudengar jawaban Kakek. Mustahil dia tidak menyimpan sedikit pun perasaaan marah.

"Aryo, boleh Ibu masuk dan bicara sebentar dengan kamu?" tiba-tiba Ibu sudah berdiri di depan pintu kamarku.

"Apa Ibu marah sama Aryo?" tanyaku merasa bersalah.

"Ya, ibu marah sekali kepadamu. Ibu harap kamu tidak mengulangi kejadian itu lagi. Kalau orang lain dengar bagaimana? Ibu bisa dikatakan tidak mendidik anak dengan baik," kata Ibu dengan nada tinggi.

"Tapi, Bu, kalau saja malam itu kakek tidak mendesak Bapak untuk mengantarkannya ke rumah Pak Sofyan, mungkin saat ini Bapak masih bersama kita. Bapak tidak akan mati secepat itu." Tanpa terasa air mataku menetes. Kulihat Ibu diam dan memandangi fotoku dengan ayah yang kupajang di meja belajar. Lama Ibu memandangi foto itu.

"Yo, Ibu mengerti perasaan kamu. Ingat, kita ini orang muslim. Kamu pasti tahu, setiap manusia itu akan dipanggil oleh pemiliknya tanpa ada seorang pun yang tahu. Jadi, kepergian Bapak itu bukan salah siapa-siapa. Bukan salah kakek, bukan salah pengendara mabuk itu, bukan juga salah bapak sendiri. Semua itu kehendak Allah. Kita harus ikhlas. Dan Ibu minta sama kamu, jangan menyalahkan kakek lagi," jelas ibu sambil keluar dari kamarku.

Malam harinya aku tidak dapat tidur. Pikiranku selalu terbayang wajah bapak. Dan setiap kali itu pula, aku tambah membenci kakek. Aku benci kakek! Dia hanyalah mantan

104