Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/115

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

sejarah, satu tanda jasa pun tidak pernah dimilikinya. Hanya kertas bekas undangan upacara peringatan tujuh belasan yang datang ke rumah kami tiap tahunnya yang disimpan.

"Yo, dulu sewaktu kakek seumur kamu, kakek sudah memanggul senjata, dan huk...huk...kakek ikut berperang melawan penjajah. Kakek..., huk...huk...tidak pernah merasakan kehidupan seperti kamu sekarang. Harusnya kamu bersyukur karena hidup di negara yang... sudah...mer...deka," Kakek menghentikan nyanyiannya dan mulai mencera- mahiku. Aku tengah memperbaiki sepeda pura-pura tidak mendengar ocehannya.

"Kakek dengar kamu sering bergaul sama anak-anak preman kompleks sebelah. Itu tidak baik. Carilah teman yang membawa kita pada hal yang lebih baik. Nanti mereka mengajarkan kamu hal yang merusak hidup sendiri.”

"Kek, sudahlah. Tiap hari kakek menceramahi Aryo seperti ini. Aryo sudah besar, Kek, dan saya tahu mana yang benar dan yang tidak benar!" aku yang dari tadi diam, kali ini mencoba menjawab.

"Benar, Kakek tahu kamu itu sudah besar. Tapi, kamu belum dewasa. Kamu juga anak laki satu-satunya. Ayahmu, kan, sudah tiada. Jadi, kamu jangan sampai membuat ibumu bersedih lagi. Ingat kata-kata Kakek, isilah kemerdekaan bangsamu dengan kemerdekaan dirimu sendiri dari penjajah hatimu."

"Sudah, Kakek! Sudah! Telinga Aryo sudah bosan mendengar itu. Saya tahu apa yang saya lakukan. Kakek tidak usah ikut campur. Kakek juga tidak perlu membangga-banggakan kehebatan Kakek dengan cerita-cerita zaman perjuangan itu lagi. Toh, Kakek tidak dianggap. Satu penghargaan pun tidak pernah Kakek terima. Apa yang Kakek banggakan? Apa kertas-kertas bekas undangan peringatan tujuh belasan itu yang akan Kakek banggakan kepada orang-orang? Satu lagi, Bapak saya meninggal karena Kakek. Kakek penyebabnya!"

"Aryo! Jaga bicaramu! Kamu sudah sangat keterlaluan terhadap kakekmu sendiri! Aryo kembali kemari!" ibu yang rupanya mendengar kata-kataku terhadap kakek langsung marah. Aku tidak peduli. Aku terus lari ke kamar. Napasku

103