Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/112

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

kasar dan jari-jemarinya yang terkelupas menandakan diri pertani; biasa menyiangi kesedihan para lelaki, kesedihannya diusap sendiri.
 Tubuh-tubuh yang retak. Dan, televisi sebentar lagi akan pecah. Di gelap televisi kini ibu menyaksikan tubuh-tubuh yang retak. Berita ibu kota, dengan perempuan cantik berkemeja lengan sepertiga, sebagai penyiarnya. Kemudian muncul seorang lainnya, seorang reporter stasiun televisi swasta itu. Suara televisi dikalahkan hujan. Sisa botol mineral berserakan, spanduk-spanduk entah bertuliskan apa, blokade yang tercecer, segalanya menjadi sampah. Sesekali masih teredengar letusan. Api nampak menyala-nyala di layar kaca.
 "Perang ternyata belum usai!" seperti digerakkan oleh entah apa, Kakek berdiri membuka jendela. Ia menatap kejauhan masa, yang entah berapa jaraknya. Berharap televisi benar-benar pecah dalam bayangannya.
 "Jangan jadi perang, jangan pernah!" begitu sering kata-kata itu kemudian berhamburan, layaknya jutaan burung merpati yang dilepaskan ke angkasa; salam perdamaian yang aneh, sungguh aneh.
Nenek memulai cerita lain tentang naga-naga yang menjaga goa di puncak rimba. Orang-orang percaya bahwa moyang mereka pernah merampas emas Belanda dan menguburkannya di sana. Ketika malam-malam tertentu, lubang goa memancarkan cahaya berkilauan, "Tapi, Cucuku, engkau tahu, hanya ada tawas yang diangkut penyadap getah ke lereng untuk mengeraskan getahnya." Ada juga cerita tentang seorang pertani yang berhasil mempersunting putri dari kayangan; tentang manusia yang bersahabat dengan harimau dan menjaga ladangnya dari hama.
 "Jadilah petani kawan harimau, jadilah petani yang pandai membaca rasi; gubuk penceng, kapal peri-peri tempat menanak mimpi-mimpi manusia."
Ayahku kini sedang menatap gelap tubuhku di televisi. Ia lantas berdiri, lalu masuk ke kamarnya. Langkahnya terlihat seperti tengah menghela tungkai yang berton-ton beratnya. Ia seperti hendak melupakan riwayat, menghapus silsilah tentang seorang lelaku yang pernah belajar berdiri di rumah ini. Di pangkuannya. Langkah bocah lelaki itu berlari, yang membuat lantai rumah ini berderit, masih saja

100