Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/111

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

raja berperang melawan penjahat-penjabat aneh dengan kesaktian yang aneh-aneh pula. Sekali tanpa diminta, ia juga bercerita tentang ayahnya yang tertembak mati waktu pergolakan. Tiga peluru bersarang di tubuh ayahnya itu, kakekku, yang terkapar di pematang. "Nenekmu tewas ditabrak truk tentara waktu ABRI masuk desa. Tak ada tugu untuknya, seperti tugu-tugu keberhasilan membangun desa," Ayah menceracau tak tentu, selalu begitu, ia senang menyalahkan apa saja.

"Waktu itu perang telah berakhir?" Nenek ikut menyela. "Seharusnya tentara-tentara itu tak ada lagi di desa kita. Mereka hanya akan membuat orang-orang takut," Ayah menggodaku lagi.

***

Ibuku sibuk sekali malam ini, meniup-niup bara sampai menyala. Asapnya memenuhi ruangan. Ia akan memasak air di atas tungku batu. Kalah. Matanya merah. Kayu basah. Suara televisi beradu suara hujan.

Rambut ibu panjang sepinggang, hitam, berkilauan terkena cahaya lampu. Cantik! "Waktu muda lebih cantik!" Ayah dulu pernah bilang.

"Apa yang membuat Ayah berpikir seperti itu?" kataku membalasnya.

"Ah, kau belum akan tahu letak kecantikan perempuan sebelum engkau merasakan bagaimana benar jatuh cinta itu," Ayah tampak mengenang, "Nanti tentu kau akan bisa paham mengapa Ayah berkata seperti itu."

Rambut ibu harum. Ia keramas dua kali seminggu dengan buah kemiri. Ibu bisa baca-tulis arab melayu. Tak sempat sekolah, "Cita-cita ketika itu begitu keramat, Anakku, seperti lengkung pelangi yang tak boleh ditunjuk, jari-jemarimu akan bengkok."

Air apakah di sudut mata selain tangisan yang menyemburat sendiri, menciptakan garis alirnya sendiri, mungkin mengikuti garis-garis yang dengan sendirinya telah diciptakan oleh waktu?

Ibuku petani yang terampil. Menanam apa saja yang bisa tumbuh dan menjualnya sendiri ke pekan. Tangannya yang

99