terdengar, sayup, dan bergetar.
"Cita-cita bagi kita adalah keramat, Anakku, seperti air mata yang tak boleh ada," Ayah berkata, begitu pelan.
Kudengar selanjutnya sayup-sayup Ayah berkata tentang bukit-bukit bernisan, pohon-pohon besar yang merindangi orang-orang yang mati, lantas menceracau tak tentu, selalu begitu. Suaranya terdengar serak, seperti sedang menahan tangisan, lalu hilang sama sekali.
Aku menjelma neon di kamarnya, masuk ke dalam tubuh laba-laba, merasuki cecak, dan entah apalagi yang telah aku jelmai. Aku perhatikan bibir ayah yang terus bergerak, bibir ibu, kakek-nekek, kutafsirkan perlahan. Banyak yang tak bisa lagi kutangkap. Kata-kata tiba-tiba terasa berbeda, semua jadi asing dalam kamus diriku.
Kedua mataku kini telah menjelma neon di ruang tamu. Air mata terus menyesak, dan terus mendesak, seperti mencari pintu meledak. Seperti Ayah, Ibu, Kakek, Nenek dan kakek-nenekku lainnya yang telah lebih dulu tertidur tanpa mata. Mata mereka telah pula menjelma neon-neon mata nyamuk, atau mata apa saja yang ingin menatap dunia. Berpasang-pasang mata itu seperti tak hendak masuk kembali ke dalam tubuhnya masing-masing. Berpasang-pasang mata itu kini menemani kedua mataku yang kesepian. Berpasang-pasang mata itu kini berlarian, berkejaran, kadang bermain bola, seperti tengah mengulang masa-masa yang dilenyapkan waktu, kadang juga menari-nari dengan girang di tengah hujan air mata yang semakin menderas, semakin menderas. Membiarkan neon-neon menyala dengan cahayanya yang berkilauan, membiaskan gerai-gerai hujan. Sebelum matahari mengalahkannya, dan tubuh-tubuh menemukan matanya masing-masing.
Selamat malam!
Selamat nyenyak tubuh-tubuh yang kehilangan.
Enyahlah semua kata-kata sebab mata Si Kalah telah melebihi ucapan paling menyerah, pada tanah yang dibasahi Kerimis asing bulan Mei.
Berpasang-pasang mata bernyanyi!
101