Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/113

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

terdengar, sayup, dan bergetar.

"Cita-cita bagi kita adalah keramat, Anakku, seperti air mata yang tak boleh ada," Ayah berkata, begitu pelan.

Kudengar selanjutnya sayup-sayup Ayah berkata tentang bukit-bukit bernisan, pohon-pohon besar yang merindangi orang-orang yang mati, lantas menceracau tak tentu, selalu begitu. Suaranya terdengar serak, seperti sedang menahan tangisan, lalu hilang sama sekali.

Aku menjelma neon di kamarnya, masuk ke dalam tubuh laba-laba, merasuki cecak, dan entah apalagi yang telah aku jelmai. Aku perhatikan bibir ayah yang terus bergerak, bibir ibu, kakek-nekek, kutafsirkan perlahan. Banyak yang tak bisa lagi kutangkap. Kata-kata tiba-tiba terasa berbeda, semua jadi asing dalam kamus diriku.

***

Kedua mataku kini telah menjelma neon di ruang tamu. Air mata terus menyesak, dan terus mendesak, seperti mencari pintu meledak. Seperti Ayah, Ibu, Kakek, Nenek dan kakek-nenekku lainnya yang telah lebih dulu tertidur tanpa mata. Mata mereka telah pula menjelma neon-neon mata nyamuk, atau mata apa saja yang ingin menatap dunia. Berpasang-pasang mata itu seperti tak hendak masuk kembali ke dalam tubuhnya masing-masing. Berpasang-pasang mata itu kini menemani kedua mataku yang kesepian. Berpasang-pasang mata itu kini berlarian, berkejaran, kadang bermain bola, seperti tengah mengulang masa-masa yang dilenyapkan waktu, kadang juga menari-nari dengan girang di tengah hujan air mata yang semakin menderas, semakin menderas. Membiarkan neon-neon menyala dengan cahayanya yang berkilauan, membiaskan gerai-gerai hujan. Sebelum matahari mengalahkannya, dan tubuh-tubuh menemukan matanya masing-masing.

Selamat malam!

Selamat nyenyak tubuh-tubuh yang kehilangan.

Enyahlah semua kata-kata sebab mata Si Kalah telah melebihi ucapan paling menyerah, pada tanah yang dibasahi Kerimis asing bulan Mei.

Berpasang-pasang mata bernyanyi!

101