Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/109

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

terngiang lagi.

Nenek lalu duduk kembali. Membawa keyakinan yang sama, yang dulu pernah ia katakan kepadaku bahwa alam telah memberikan banyak umpama yang tak tereja oleh sembarang manusia. Umpama yang akan tetap menjadi umpama, sedangkan banyak manusia berjalan sendiri dengan perhitungan akainya yang congkak.

Mataku sejenak menstap matanya. Bertahun-tahun kami berbagi mata, mataku bermain di matanya, meloncat-loncat, berkejaran berlarian dengan hujan air mata masing- masing. Kadang dengan matanya, Nenek menidurkanku. Nyanyian mata yang aneh, mantera macam apakah?

"Si Mati membawa pergi matanya, meninggalkan tubuh yang kesepian dan buta. Si Mati tiada peduli lagi pada kegelisahan tubuhnya. Ia terus berziarah, mendatangi tempat-tempat, masa dan suasana, dan orang-orang yang pernah akrab dengan hidupnya terdahulu. Membawa serta mata yang dicurinya," Nenek memulai ceritanya kembali. Cerita yang semuanya kini berada dalam kenangan itu, yang kini menjadi serba terbatas dalam ingatanku.

"Tubuh tak pernah rela menjadi tubuh. Mata tidak untuk tubuh yang mati!" Aku tak mengerti, tapi Nenek terus melanjutkan. "Tubuh yang mati tak boleh punya mata. Ia akan menjadi mayat hidup, Cucuku!"

"Mayat hidup?" aku benar-benar tak mengerti. Benar-benar.

***

Kakek sedang menonton televisi yang dibeli dari tujuh kali uang pensiunnya. Kedua kakinya terlipat di atas tikar pandan yang koyak keempat sisinya. Punggungnya lekat ke pelupuh. Sebelah tangannya menyuap nasi di piring melamin warna jingga. Di atasnya seekor bandeng tergeletak tak berdaya. Beberapa buah cabai merah di tepi, belum digiling. Mentimun, beras pirang, hama wereng, dan ekor tikus.

Pernah menjalani kerja paksa di hutan Sumatra memperbaiki rel kereta api dari pelabuhan ke tambang batu bara. Kena disentri. Ketika itu, ia masih sangat muda. Kurus kering Belanda pergi, Jepang yang ganti. Jepang kena bom, mereka

97