Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/108

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

telah lenyap dari tubuhnya. Jangan dekat-dekat sama Si Mati. Kau harus membersihkan tubuhmu setelah melihat tubuhnya. Jangan pernah melihat kalau tak terpaksa. Kau bisa terserang demam tinggi. Sebab tubuhmu dibawa dendam Si Mati jauh ke muasalnya. Dendam itu terik, Cucuku!"

"Tubuh tak pernah ingin berlama-lama jadi tubuh sebab tubuh tersiksa. Ia ingin pergi seperti matanya...." Sebelum nenek selesai melanjutkan kata-katanya, aku sudah memotong, "Tapi mengapa tubuh Si Mati dingin? Karena matahari Saat itu jauh?"

"Tidak, Cucuku, karena dendam Si Mati kau bawa ke dalam tidurmu. Dalam tidur, orang selalu ingin lepas dari kekang tubuhnya, mencuri matanya, dan mengembara bersama matanya, mencari surga atau mungkin dunia yang belum pernah ada," Nenek menjelaskan. Matanya bertambah menakutkan.

***

Aku kembali, lalu menggantung di langit-langit serupa nyamuk, tiada leluasa bergerak. Rumah ini terlalu banyak jaring laba-laba. Sebentar-sebentar aku berubah, kadang jadi cecak menangkap diriku sendiri, kadang menjelma neon. Semua kenangan bergiliran masuk dalam ingatanku yang semakin terasa sempit.

Angin mengibas-ngibaskan jendela, membuatnya berdentang keras mengenai kusen. Adakalanya hanya berderit kecil, perlahan-lahan terkatup, sebelum angin beberapa saat kemudian menyepaknya lagi.

Nenek berdiri mengatupkannya. Helaan napasnya terdengar seperti gemuruh hujan. Sejenak ia menatap ke luar. Aku mengikuti matanya. Pandanganku tersangkut di pucuk-pucuk lalang yang begitu perkasa menahan butiran hujan.

"Walau akhirnya mungkin akan tertunduk dan rebah, hujan tak pecah, seperti embun yang bisa berakrab dengan runcing dan tajamnya. Tapi, semuanya hanya umpama, yang akan tetap menjadi umpama selama alam ada dan bergerak. selama manusia berkawin dan berpinak, melahirkan makhluk-makhluk pembaca umpama," pituah-pituah itu

96