Halaman:Jemari Laurin Antologi Cerpen Remaja Sumbar.pdf/104

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

 Cukup lama juga mereka berucap, tapi aku tidak ingin lagi mendengarkan celotehnya yang terlalu tinggi menggapai mimpi. Sampai mereka pergi, aku masih saja menggerutu. Sampai-sampai keelokan matahari sore tidak lagi terasa indah olehku.

 Malam harinya aku tidur tidak nyenyak, aku masih memikirkan nasib si pemudi, jika seandainya ia memenuhi permintaan dari si pemuda yang ingin kuludahi wajahnya itu.

***

 Tiga minggu sudah aku tinggal di pantai ini. Seperti biasa, aku hanya berdiam di deretan batu-batu lain yang sebaya denganku, aku tidak bisa ke mana-mana karena aku hanyalah sebongkah batu yang dibawa dari sebuah bukit tempat tinggal lamaku dan dipergunakan oleh orang-orang di sini sebagai penyangga amukan ombak laut.

 Semilir angin malam mengelus-elusku dengan lembut. Sebenarnya angin tersebut sangat dingin, tapi tidak bagiku, tubuhku yang keras mampu menahan dinginnya malam itu.

 Sedang asyik-asyiknya aku menikmati angin malam, tiba-tiba pemuda dan pemudi yang sering mendudukiku datang lagi, setelah tidak pernah memperlihatkan puncak hidungnya selama tiga minggu ini, entah ke mana mereka pergi. Tapi, yang kutahu sekarang, aku pasti merasa bosan dan jengkel lagi kepada mereka.

 Tapi, kelihatannya mereka sedang bertengkar. Lihat saja si pemudi sedang menangis.

 Si pemuda telah mulai mendudukiku, tapi tidak bagi si pemudi, ia masih saja berdiam diri sambil terus mengucurkan air mata di kedua kelopak matanya. Si pemuda tampak begitu suntuk. Tidak biasanya mereka begini. Aku terus memperhatikan mereka.

 "Mana janji loe, Roy, katanya loe siap mempertanggung jawabkan semua perbuatan loe ini."

 "Tapi, sekarang gue belum sanggup Karine, loe gugurin aja, deh."

 Si pemudi masih terus menangis.

 "Loe harus tenang Karine, gue janji, setelah gue wisuda nanti, gue akan ngomong ama kedua orang tua gue, dan di

92