Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/45

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

  ― Apa jang kau maksud dengan pintar ? Kepintaran kadang-kadang bisa membuat seseorang tidak berperasaan. Kalau perasaan sudah hilang dengan sendirinja tjinta djuga hilang. Kelak bila anak itu sudah pintar dia tak ingat lagi pada tanah, atau pada lumpur. Itu aku tak mau. Pada hal tanah dan lumpur, memberi dia hidup.

  ― Tapi dia tak boleh mentjintai tanah sadja, kata perempuan itu. Dia djuga harus mentjintai sesuatu jang lain.

  ― Jang kau maksud ?

  ― Kepintaran, atau kebersihan seperti kau, ulang perempuan itu lagi.

  ― Tetapi disini djuga toch ada sekolah. Disini dia bisa beladjar sekolah dan bisa beladjar membadjak. Djadu dua-duanja. Kalau dia dibawa kekota dia akan beladjar tjuma sekolah sadja dan ini berarti kita memisahkan dia dari lingkungannja.

  ― Kalau kau punja pikiran begitu lebih baik kaunpun djangan balik lagi kekota, larang perempuan itu. Kembalilah kemari dan hiduplah seperti kami disnin. Itu lebih baik, kata perempuan itu lagi.

  ― Itu tak bisa, lakilaki itu mengelak.

  ― Bisa sadja kalau kau mau.

  ― Apa jang kau kerdjakan ?

  ― Membadjak seperti kami. Seperti anak lakilaki itu. Kau tjinta sawah kau kata

  ― Memang aku tjinta sawah. Tapi bukan seperti kalian. Kalian mentjintai dan menanaminja. Aku tidak bisa berbuat begitu. Semuanja telah berobah. Dan ini salah satu ajah kita.

  ― Tapi salahnja kalau kau mulai, desak perempuan itu.

  ― Itu tidak mungkin. Kalau aku mulai berarti aku akan merobah letak urat dan seluruh sel-sel dalam tubuhku. Dan ini dapat kau bajangkan betapa sakitnja aku.

  ― Tapi darah kita darah pantai.

  ― Memang betul. Tapi buat aku itu hal sudah liwat dan ini bukan salah aku. Akun menjesali ajah kita. Ajah memisahkan aku, kau dan anak itu. Memisahkan dari darah ketanian jang telah kita miliki.

  ― Jah, salah ajah kita, kata perempuan itu mengeluh.

  Lakilaki jang dipanggil Ori itu tak berkata lagi. Perempuan itu pun tidak. Mereka berdua saling menjesali perbuatan ajah mereka karena telah memisahkan mereka. Lakilaki itu memang mentjintai tanah, tapi apalah jang dapat dia lakukan dengan ketjintaan itu ? Segalanja telah berobah. Karena itu Ia tak mau berbuat kesalahan pula seperti ajahnja. Ia tak mau membawa anak itu kekota karena itu berarti memisahkan dia dari tanah dan lumpur jang ditjintainja. Biarlah anak itu tumbuh djadi besar dan hidup dalam kebebasan seperti diadjarkan alam kepadanja. Dan dia biarlah dia melagukan adjaran ini kemana sadja ia pergi karena adjaran itu takbisa dipisahkan dari darah dagingnja : „Sedjengkal tanah ini takboleh engkau biarkan ditumbuhi rumput jang tak berguna, atau membiarkan dia liar atau kowu, karena hal itu bukan adjaran nenek mojang kita, karena hal itu merugikan kamu.“