Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/22

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

putih pada umumnja mempunjai perkampungan sendiri, anak² mereka pergi ke sekolah Eropa, mereka mempunjai tempat hiburan sendiri. Dalam hubungan jang dilakukan golongan kulit putih dengan golongan kulit berwarna jang bertalian dengan pekerdjaan, djadi pada umumnja djuga hubungan pihak atasan dengan pihak bawahan, setjara hati-hati didjaga agar „prestige” mereka tidak merosot. Memang memupuk dan mendjamin berlangsungnja ras diskriminasi dengan dualismenja itu adalah suatu „conditiosins qua non” bagi kekuasaan kolonial.

Sebaliknja rasdiskriminasi itu merupakan faktor jang sangat menghambat kemamadjuan bangsa jang didjadjah, bahkan sering menanam rasa inferieur dalam menghadapi bangsa pendjadjah.

Dipelbagai lapangan, seperti lapangan pemerintahan, politik, ekonomis dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi barriere garis warna. Tidak semua djabatan negeri terbuka bagi mereka, tidak mendapat kesempatan berdagang setjara besaran, tidak sebarang anak Indonesia diperbolehkan masuk sekolah Eropa, tidak tampak bangsa Indonesia seorang djuapun di kamar² bola atau sociteit mereka.

Dalam hubungan ini dapat diutarakan utjapan seorang pengarang Barat, dr. Victor Clark jang mengatakan, bahwa oleh pemerintah kolonial Belanda tidak ditjiptakan sjarat-sjarat untuk memperkembang penghidupan bangsa Indonesia sehingga mendjadi stationair dan menundjukkan immobiliiet. Pandangan progressif ini sudah barang tentu bertentangan dengan pandangan kaum penguasa kolonial jang masih dihinggapi oleh mitos tentang bangsa serta segala prasangkanja. Kemadjuan Barat menundjukkan superioritet bangsa kulit putih sedang bangsa² kulit berwama terbelakang oleh karena mereka inferieur. Bangsa Indonesia terbelakang disebabkan karena keadaan iklim, miliou dan pembawaan bio-psikologis. Timbul pada mereka pertanjaan apakah bangsa Indonesia dapat memiliki peradaban. Dalam pandangan mereka segala matjam sifat inferieur dapat diasosiasikan dengan kaum Inlander. Sebagai tjontoh baiklah dikutip suatu tulisan dalam surat kabar sebelum perang. jaitu „Nieuws van de Dag van Naderlandsch-Indie” : Kaum Inlander adalah sais jang djahat dan kedjam, pekerdja jang malas, petani jang terbelakang dun keras kepala, mandor jang malas, bawahan jang bersikap mesabodoh atau atasan jang keras. Ia sangat pertjaja kepada tachajul, tak dapat dipertjaja, tak djudjur, bodoh, lengah, despotis dan berdjiwa budak. Kalau sudah pandai berbahasa Belanda mendjadi tjongkak, kalau tidak lagi mendjadi budak, lalu timbul sifatnja jang „despotis”.

Oleh kaum pendjadjah ditjarinja sebab² kemerosotan dan kemunduran kehidupan bangsa Indonesia dalam sifat² seperti kemalasan, keborosan, indolensi, maka mereka terdesak dalam „struggle for life”. Dipandang dari sudut kepentingan kolonial ada sifat² jang perlu diperkembang, seperti sifat taat, setia dan sifat² lain jang perlu dimiliki oleh pegawai jang ideaal, seperti abdi terhadap „bendara”nja,

Malahan untuk kepentingun politik kolonial diperkuat adatistiadat kuno, lembaga² kuno, kekuasaan aristokratis jang terdapat dalam masjarakat feodal.

Oleh pihak bangsa Indonnsia sendiri mulai dirasakan dan disadari adanja beberapa rintangan jang menghalang halangi atau menghambat kemadjuan. Ikatan feodal dan ikatan tradisi membatasi lapangan bergerak : djabatan jang turun-temurun, penghormatan kepada atasan jang berlebih-lebih, konservatisme dalam soal pendidikan dan perkawinan, adat-istiadat jang mudah lapuk dan tidak sesuai lagi dengan keadaan baru.

Golongan jang mengedjar kemadjuan menamakan dirinja kaum muda dan menganggap dirinja antagonist dan kaum kuno atau kaum kolot, ialah mereka jang bersikap konservatip dan ingin mempertahankan adat-istiadat lama, seperti aturan sembah, djongkok, sila dan meni. Pemberian hormat menurut adat kuno sering menghilangkan