Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/23

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

penghargaan pada diri sendiri, umpamanja berdjongkok atau sila dan memberi sembah kepada pembesar di peron setasiun sedang bangsa-bangsa lain mondar-mandir didepan setjara bebas. Oleh kaum muda dirasakan sebagai suatu penghinaan bahwa para pedjabat Indonesia sampai dengan tingkat patih dalam resepsi disuruh duduk dilantai, sedang bangsa Belanda dan bangsa asing lainnja duduk di kursi. Kaum tua khawatir kalau dengan hilangnja adat-istiadat, orang muda atau bawahan mendjadi kurang adjar. Ada jang terlalu gemar kepada kehormatan, suka disembah dan menerima upeti (pisungsung, bulubekti Dj.). Mereka sangat ditakuti zakjat serta segala perintahnja selalu harus disambut dengan ,,sendiko" sadja.

Disamping penjederhanaan adat, kaum muda djuga hendak mengichtiarkan kema- djuan bangsa dengan melakukan pemberantasan penjakit² akjat, jang lazim disebut M. 7. Semangat untuk mentjapai kemadjuan mendorong mereka giat menuntut ilmu, radjin beladjar bahasa Belanda sebagai kuntji kearah kemadjuan, mulai menukar pakaian adat dengan pakaian Eropa. Semangat baru dimana-mana meluap-luap, surat kabar penuh dengan karangan tentang kemadjuan, sembojan jang di-dengung²kan ialah : ,,Java vooruit". Masa emansipasi telah tiba dan banjaklah putra putri Indonesia jang memenuhi panggilan djaman, panggilan mana dengan djelas dimanifestasikan dalam suatu surat edaran dari tiga orang puteri bupati Djepara, ialah R.A. Kortinah R.A. Roekmini dan R.A. Sumatri. Mereka menjarankan agar kaum muda bersatu dalam mengedjar kemadjuan, kalau perlu dengan membuang adat-istiadat jang buruk. Kaum muda diadjak membentuk perkumpulan untuk memperdjuangkan kemadjuan rakjat dan membola bangsa Indonesia. jang dihina dengan uljapan seperti „De Javaan is onbetrouw. baar" (orang Djawa tidak dapat dipertjaja).

Seruan itu mendapat dukungan para kaum progressif, seperti para bupati dari Tuban, Temanggung, Djepara, Demak. Karanganjar, Sri Paku Alam, Pangeran Notodirodjo dan lain-lain.

Diantara para bupati jang termasuk golongan madju dapat disebut P.A. Tjondronegoro, bupati Pati pada achir abad ke-XIX. Beliau terkenal karena tulisan²nja, al, tentang kisah perdjalanan di Djawa dan beberapa karangan dimuat dalam madjalah Lembaga Kebudajaan. Perlu ditjatat pula sebagai pioniz, ialah P.A. Hadiningrat, bupati Demak, jang djauh sebelum emansipasi dimulai, telah mentjapai kemadjuan setaraf dengan bangsa Eropa. Beliau mentjurahkan tenaga dan fikirannja bagi kepentingan bangsa pada umumnja dan rakjat didaerahnja chususnya, Kesengsaraan rakjat, perbaikan penghidupan mereka, perluasan pengadjaran dan perbaikan mutu pendidikan selalu mendjadi perhatiannja.

Prestasi dari beberapa kaum pionir merupakan bantahan jang konkrit terhadap mitos-bangsa atau teori-bangsa jang menondjolkan superioritet bangsa Barat. Nama² seperti R. Saleh Sarif Bustaman, A.M. Ismangun Danuwinoto, Kolonel Majangkoro, Mas Atmodirono, Raden Kamil telah terkenal ketjakapannja dan telah memiliki pengetahuan serta peradaban setaraf dengan bangsa Barat.

Tidak boleh dilupakan pula tokoh dari Tapanuli, Maharadja Sutan Casajangan Sori. pada, dan tokoh dari Ambon J.E. Tehuperoy. Maharadja Sutan Casajangan Soripada dilahirkan di Batu nan Dua (Tapanuli) pada tahun 1976. Pada usia 13 tahun masuk Sekolah Guru di Padang Sidempuan dan setelah tamat beladjar, bekerdja sebagai guru. Pada tahun 1906 beliau mendapat kesempatan meneruskan peladjarannja ke negeri Belanda, dimana beliau berhasil berturut-turut mentjapai idjazah Lagere Akte dan Hoofdakte. Selama ada di negeri Belanda perhatiannja tetap ditudjukan kepada usaha memadjukan bangsanja, maka untuk melantjurkan usaha itu pada tahun 1908 telah didirikan ,,Indische Vereeniging" dan tak lama kemudian, "Eewig Instituut".

Tjita-tjitanja ialah supaja pengadjaran di Indonesia diperluas, sehingga bagi setiap