Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/21

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

muka tepat djika dikatakan bahwa Indonesia adalah „gabus tempat negeri Belanda terapung”.

Tanaman paksa sebagai „gereglementeerde siavernij” (perbudakan jang teratur) memberi „batig saldo” 637 djuta rupiah dan setelah Tanaman Paksa itu setjara resmi dihapuskan pada tahun 1870, batig saldo masih mengalir terus, sehingga kontribusi Indonesia kepada negeri Belanda sampai ochir abad ke-XIX mendjadi 932 djuta rupiah. Inilah jang kemudian oleh politik-etikus van Deventer disebut sebagai suatu „Eere-schuld” (Hutang Kehormatan). Tidak setjara kebetulan timbulnja haluan etis bersamaan dengan memuntjoknja imperialisme Barat sebagai perwudjudan politik dari kapitalisme modern. Perkembangan kapitalisme menimbulkan ekspansi ekonomis negara-negara Barat jang setjara berlomba-omba mentjari daerah pelemparan overproduksi hasil industrinja.

Merosotnja kesedjahteraan rakjat di Indonesia pada awal abad ke-XIX dan susutnja daja-belinja akan mempunjai akibat tidak baik pada perekonomian Belanda dan bertentangan dengan kepentingan² kapitalismenja. Moka dari itu polltik kolonial jang telap merupgkan politik eksploitasi perlu disesuaikan dengan kepentingan itu dan diberi etiket atsu sembojan baru seperti „Ethische koprs”, „mission sacree” afau ”the white mans burden”. Untuk membenarkan kekuasaan mereka itu selalu dikatakan adanja hak historis bangsa Barat. Tidak mengherankan, djika politik eksploitasi hanja membawa perkembangan materil sebagai kondisi untuk memperlengkap alat-alat produksi bagi keperluan penanaman modal. Tuntutan ekspansi modal jang menghendaki supaja produksi dipertinggi, sudah barang tentu membawa perubahan² dalam masjarakat Indonesia, Hal ini selalu ditundjukkannja sebagai pengaruh-pengaruh peradaban jang dbawanja seperti djalan kereta api, bangunan² irigasi, tetapi dalam hal ini tidak per- pernah ditambahkan, bahwa modernisasi itu dibutuhkan oleh kepentingan perdagangan dan perindustrian gula Belanda. Djadi teknologi modern dipergunakan didaerah kolonial dengan tudjuan primer untuk menambah produktivitet, sehingga lebih besar keuntungan dapat diperas dari daerah djadjahan dan dapat mengimbangi saingan barat dari negeri-negeri lain.

Kepentingan modal dan ekploitasi jang primer, kesedjahteragn serta kemakmuran takjai sekunder, maka dari itu Irias dari programma politik otis dapat diselenggarakan : irigasi, emigrasi dan edukasi.

Disamping politik ekploitasi perlu disebut diskriminasi bangsa sebagai sebab mengapa masjarakat kolonial Indonesia terbelakang. Suatu dalil dalam sedjarah kolonial jang telah diketahui umum. ialah bahwa pemerintahan kolonial bersendikan perbedaan warna kulit, masjarakat kolonial terbagi atas dua golougan jang dipisahkan oleh 'colour-ine", garis warna. Kaum pendjadjah jang berkuasa sebagai golongan ketjil memiliki hak istimewa, berlainan dengan kaum jang didjadjah, jeng merupakan golongan besar. Susunan musjarakat kolonial di Indonesia jang bersifat feodat memberikan tempat kepada kaum pendjadjah di lapisan atas, diatas tempat golongan bangsawan Indonesia. Warna kulit menentukan stalus dalam masjarakat kolonial dan membagi masjarakat alas dua golongan, golongan atas jaitu kaum kulit putih dan golongan bawah, ialah golongan jang didjadjah. berkulil berwarna, Dengan adanja rasdiskriminasi itu masjarakat kolonial mendjadi dualistis : diskriminasi membawa perbedaan dalam lapangan hukum, seperti hukum pidana dan perdata, dalam soal pengaditannja, perbedaan padjak, kewadjiban kerdja, seperti kerdju rodi dan kerdja desa. Jang mendjadi kriterium selalu kelurunan berdasarkan warna kuli. Dengan demikian kita menghadapi dua dunia atau lingkungan hidup, masing² dengan pandangan hidupnja, adat-istiadatnja, paham²nja, hukumnja sendiri. Kontak sosial antara dua kasta itu sangal terbatas: golongan kulit