Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/176

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Mulai masuknja pengaruh Islam pada tahun ± 1400, apalagi sedjak runtuhnja Modjopahit (1528), kesenian kita terus-menerus mengalami kemunduran. Alam-fikiran Hindu didesak oleh alam-fikiran Islam, tapi kesenian Islam jang dinegeri-negeri lain. misalnja Persia dapat berkembang itu, ditanah-alr kita tiada menijapai kemadjuan jang tinggi, tak lain karena tak sempat sadja berkembang bukan lantaran dilarang oleh agama, seperti jang pernah diduga orang sebab timbul banjak kerusuhan karena perang-perang melawan bangsa-bangsa asing, kemudian oleh kemerosotan ekonomi dan jang paling menekan ialah pendjadjaħan tiga abad oleh Belanda.


Dari zaman ke-emasan dan zaman kemunduran tadi kita dapat beladjar bahwa situasi negara dan masjarakat berpengaruh besar atas madju-mundurnja kesenian. Ini tak mengherankan, apabila kita ingat bahwa masjarakat dan kesenian itu berpengaruh timbal-balik, sedangkan kesenian berasal dari tenaga rasa, pikir dan fantasi segolongan manusia jang mendjadi bagian dalam masjarakat itu lupa. Kekatjauan oleh perang. kelemahan ekonomi, ketidak-bebasan untuk mengutarakan buah-pikiran dimasa pendjadjahan, pendidikan jang djauh terbelakang dalam hal taraf dan ragamnja, semua itu sangat mengekang usaha-usaha menurut bakat dan kemauan sendiri, maka dapatlah dimengerti berlangsungnja masa kemerosotan jang sangat pandjang itu.


Setelah kemerdekaan tertjapai, barulah kita mendapat kesempatan untuk merobah segala jang merugikan, bahkan mematikan kebudajaan itu jang diwariskan oleh zaman jang lalu kepada kita. Kemerdekaan mengadjak, ja mengharuskan kita sebagai bangsa jang tahu diri untuk melenjapkan kekurangan serta keterbelakangan kita.


Tugas ini mahaberat, oleh sebab kemunduran berabad-abad itu mesti kita lompali sekaligus dalam waktu puluhan tahun jang singkat itu menurut pengertian sedjarah. namun harus kita kedjar, kalau tidak mau ketinggalan terus dimedan paljuan dengan bangsa-bangsa lain. Kita mesti mengembangkan bakat-bakat kita disegala lapangan, mulai hal-hal jang nampaknja ketjil seperti tjara mengatur rumah-tangga, tjara bergaul dan tjara berhibur — soal jang hangat ialah misalnja soal mentjiplakan tari-tarian pergaulan — sampai meningkat kemasalah-masalah besar seperti membentuk dusun mendjadi kota, membentuk negara dengan segala aparat-aparalnja jang efektif (kabinet, parlemen, tentara dsb.) dan mentjiptakan kesenian-kesenian baru, pendeknja segala soal jang membina kebudajaan baru. Timbul-tenggelamnja bangsa kita tergantung dari daja-kreatif kita disogala lapangan untuk membentuk kebudajaan baru itu.


Pergulatan guna mentjapai kemadjuan lahir-batin inilah jang memerlukan tenaga lahir-batin pula, dan hal ini akan memberi isi kepada kemerdekaan. Isi ini tertjermin dalam hasil-hasil tjiptaan serta penjelenggaraan jang sanggup memberi kemakmwan kepada rakjat sebagai pemuasan kebutuhan lahirlahnja serta memberi kebatinan jang tepat seperti jang terpantjar dari agama, filsalat, adjaran budi-pekerti dan kesenian sebagai pemuasan kebutuhan rohaniahnja.


Agar memperoleh gambaran jang lebih kongkrit, marilah kita tindjau sekarang. sampai kemana kemungkinan-kemungkinan jang ada, bersandar pada tenaga-tenaga jang tersedia dalam masjarakat.


Kesadaran kebangsaan sedjak tahun 1908 kami ambil sebagai titik-mula bagi pembentukan kebudajaan Indonesia Baru, walaupun pada waktu itu baru berupa tjita-tjīta jang sedang diperdjoangkan dan belum mentjapai pelaksanaan jang menjeluruh, tapi fragmentaris dan hanja mempunjai zuang-hidup jang sempit, disebabkan pendjadjahan. Kesadaran ini mentjapai puntjaknja pada hasil Revolusi tahun 1945, Ialah dengan terbentuknja negara serta pemerintahan nasional, kini masih dipimpin oleh para pemuka politik dari awal abad keduapuluhan tadi, jang lambat-laun mendjadi tulang-punggung kaum elita.