Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/173

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

dasarkan pada tjerita pendek Nasjah jang sama dalam madjalah „Budaya” bulan Mei tahun 1954.

Babak pertama kita berkenalan dengan dua orang partisan Imran dan Enda jang dengan susah pajah mentjari djalan didaerah pegunungan Danau Leles untuk menemui dan menjampaikan surat kepada kepala pasukan. Imran jang mengidap sakit malaria mengalami kemerosotan semangat, ditambah pula oleh siksaan kenangan kepada asal usulnja dilahirkan sebagai anak tidak berbapa.

Babak kedua mulailah dengan persoalan-persoalan jang menarik hati. Seorang serdadu Nica dalam keadaan sakit den luka parah tergeletak dalam rumah seorang kampung, didjaga oleh seorang gadis, jang merawatnja dan melindunginje demi parasaan kemanusiaannja.

Djustru pada waklu itulah Imran dan Enda sampai pula ditempat itu. Imran ditinggalkan oleh Enda jang meneruskan perdjalanan mentjari obat untuk kawannja. Terdjadilah situasi dimana si Gadis melajani dua orang musuh tanpa kedua mereka itu bertemu jang satu dengan jang lain, dan jang satu malah tak tahu akan adanja jang lain. Dari pihak si Gadis tak ada beda antara keduanja, mereka itu adalah manusia-manusia sakit jang perlu rawatan. Didalam hati si serdadu Nica timbullah penjesalan telah pernah tanpa pikir membunuhi orang-orang jang tak bersalah seperti si Gadis ini, semata-mata hanja untuk membalas dendam atas perbuatan jang dilakukan orang lain atas ajah, ibu dan adiknja jang mendjadi korban revolusi.

Perkembangan kedjadian mentjapai ketegangan tatkala partisan Imran mendengar dari ruang tempatnja tarbaring suara erangan dari serdadu Nica. Tapi serta mengetahui bahwa musuhnja itu tidak berdaja suatu apa, hatinja mendjadi lembut. Permintaan serdadu Nica supaja menembaknja sadja untuk mempersingkat penderitaannja, tidak mau ia mengabulkannja.

Si Serdadu: Saja banjak membunuhi kawan-kawan saudara. Sekarang saja tidak tahu buat apa itu semua saja lakukan. Saja bukan orang berani. Saja penakut. Tapi ditangan saja ada bedil. Dan ini membuat saja mendjadi ganas dan kedjam. Ketakutan membuat saja berani membunuh. (dengan suara lain) Takut itu! Ah takut itu ! Takut Jang membuat manusia djadi ganas, membuat orang diberi bintang dan didjadikan pahlawan. — Tembaklah saja ! Tembak ! (hal. 173).

Imran: Sebaiknja kamu tadi pagi mati ditembak ! Kamu mau mati ? — Ini. Kalau kamu mau mati, matilah ! Tapi djangan suruh orang lain menembakmu ! — Ambil pistol saja ini, kamu boleh tembak dirimu sendiri. Ambil!

Si Serdadu: — Saudara. Saja bukan takut mati. Tapi saja tidak sanggup menambuskan peluru kekepala saja dengan tangan sendiri (hal. 174).

Inilah panggilan kepada hakekat, hakekat djiwa manusia. Keberanian jang melahirkan kepahlawanan adakalanja berdasarkan ketakutan. Soalnja keberanian untuk apa ? Pertimbangan si Serdadu pasti lain dari pertimbangon si Imran. Perbedaan tudjuan memberikan dasar jang kuat kepada keimbangan pribadi. Dan dapatlah kita mengerti apabila dengan djidjik dan geram Imran berkata: „Tidak ! Saja tidak akan menembak kamu ! Lebih baik saja menembak harimau jang ganas, daripada orang jang putus asa seperti kamu ini !” (hal. 175)

Achirnja muntjul truck-truk patroli Belanda dari kedjauhan menudju rumah si Gadis. Reaksi pertama dari si Imran ialah tjuriga pada si Gadis, tapi sikap si Gadis begitu ichlas dan sungguh-sungguh hendak menjelamatkannja, sehingga ia mengurungkan maksudnja membunuhnja bersama-sama dengan si serdadu Nica. Pada saat jang terachir antara serdadu Nica dan Imran terlahir suatu saling mengerti berkat semangat kemanu-