Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/171

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Trisno: Sedjak aku bisa berpikir djernih lagi.

Hartati: Tapi kita sudah mulai, dan kita sudah begitu hitam. Terlalu hitam. Kau mau mundur ? Tris, katakanlah terus terang bahwa kau sudah djemu padaku.

Trisno: Aku bukan djemu padamu. Aku djemu pada diri sendiri. Djemu kau memdustai dan mengchianati suamimu, djemu memikirkan diriku jang mengchianati Adang, kakakku. (hal, 509).

 Tidak. Tati tidak mau hidup rukun mendatar dalam suatu rumah tangga kekeluargaan. Usul Trisno untuk membuka kartu, minta tjerai dari suami dan mengikat tali perkawinan, sama sekali tidak menarik baginja. „— tjinta kita akan habis, bila kita kawin ! Kita hanja akan tinggal mendjalani hidup sebagai suami isteri jang begitu hambar dan membosankan. Tjinta kita akan tjair djadi kebentjian dan keketjawaan dengan akibat-akibat dan kewadjiban-kewadjiban perkawinan !" (hal. 511).

 Djuga Trisno orang jang mempunjai kehidupan menjala-njala, tapi menjalanja perlahan-tahan mengendap-endap karena masih ada suara batin jang lama, moral, susila. Dan apabila njala itu marah mendjadi besar, maka alasan-alasan susila djugalah jang dikemukakannja untuk mempertahankan sikap dan tindakannja. Ia ingin mengawini Hartati, karena tak tahan terus menerus hidup dalam kebohongan dan kepalsuan, terhadap Adang, terhadap masjarakat. Trisno adalah manusia susila jang terlibat dalam putaran nafsu-nafsu jang tidak bertudjuan.

 Rahaju wanita merdeka jang mempunjai djalan pikirannja sendiri pula. Mula-mula bertunangan dengan seorang djuru terbang ia menggugurkan kandungannja tatkala tunangannja itu tewas dalam ketjelakaan mesinterbang. Pertjakapannja dengan dokter Gun jang mula-mula bersikap seperti manjalahkan terhadapnja menundjukkan pemikiran jang mendjadi keras dalam pengalaman.

Rahaju: Dengar Pak dokter! Kutjeritakan apa jang belum Bapa ketahui ! Pemuda itu tidak melemparkan aku seperti sampah ! Dia dan aku sadar, waktu kami melakukan perbuatan kami sehingga njawa itu tumbuh dikandunganku ! Oh, bila memang satu kesalahan, perbuatanku menjerahkan diriku padanja, dan dia menjerahkan dirinja padaku, sebelum kawin, tjinta djuga satu perbuatan salah ! Kami sudah akan kawin, sudah hampir akan kawin ! Aku tidak menjesal telah berbuat demikian ! — Mula-mula aku menolak permintaanja itu, aku menjabarkannja supaja menunggu sampai kami kawin. Ia tidak mendesak, tapi wadjahnja itu ! Sebagai aku melihat pada wadjahnja, bahwa sesuatu akan terdjadi. Dan aku menjerah, memberikan sebagian diriku, keseluruhan djiwa dan tubuhku. Latu tiba-tiba, sebulan kemudian datang ketjelakaan itu. Kapal udaranja djatuh ! Ia gugur.

 -— Kenapa aku akan mentjeritakannja pada orang lain didunia ini ? Soal itu soal antara aku dan dia, dan alam. Mengertikah Pak dokter sekarang kenapa aku harus berterima kasih atas pertolongan Pak Gun? Kenapa kita berdua djadi pembunuh njawa jang tak boleh lahir itu ? — Aku harus membuang habis-habis kenang-kenangan padanja, harus membunuh sebagian diriku jang diberikannja padaku ! Manusia tidak menghendaki baji lahir tidak berbapa ! Manusia tidak mau melihat nama dan kehormatan bapaku dan keluargaku ternoda karena kelahiran itu. Manusia akan menghantjurkan hidup anak sebagai jang kukandung. Dan aku akan menghantjurkannja lebih dulu, sebelum ia berbentuk, sebelum ia lahir kebumi, sebelum ia bisa berpikir ? (hal. 497).

 Tentulah seorang moralis bisa dengan gampang mengatakan bahwa semua itu tak usah terdjadi kalau sadja sigadis ingat akan norma-norma kesusilaan. Tapi tekanan-tekanan situasi kadang-kadang lebih kuat dari nerma-norma. Dan firasat jang didapat oleh sigadis sehingga ia memberikan dirinja adalah suatu tenaga jang lebih tinggi dan penjerahaanja suatu bukti kebesaran tjintanja jang tidak pernah disebut-sebutnja dengan nama jang konjol itu.