Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/170

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Ibu: Begitu?! Seperti dunia dan hidup ini kepunjaanmu sendiri! Tjuma pikiran dan kemauanmu sadja janrg berlaku! ? Anakku punja orang tua, punja kehormatan, punja suami. Dan itu kau indjak-indjak ! Apa tanggungdjawabmu sekarang ? Dosamu kau pikul ? Kau ikut memikul ? Setelah melumuri Tati kau biarkan dia. (hal. 514). — Belum tjukup dia sadja jang kau hantjurkan! — Otakmu bukan dikepala lagi, tapi diudjung kakimu! Kau tidak mau melepaskan diri dengan kata-kata, — masih djuga kau tidak akan sadar-sadar, bahwa kau membunuh Tati, membunuh Adang, kakakmu sendiri ! Segala kebaikan telah kau bunuh dari djiwamu, (hal, 515).

Iype Hartati dan Rahaju pertentangan jang kuat memperkuat. Mereka keduanja mengandung prinsip jang sama dalam dirinja. Hiduplah saat ini dengan sepuasmu dan apa jang datang kemudian bukanlah soal. Toh perbedaan djuga. Masa silam bagi Hartati masih berkata apa-apa, ternjara ia tidak mau melepaskan tjintanja (atau belas kasihannja ?) kepada suaminja. Keduanja sama intens menghirup hidup.

Hartati, mulanja manusia sosial jang achirnja mendjadi bosan dengan kesibukan sosial jang dirasakannja sebagai show belaka. „Aku ikut pidato sini, aku ikut menjelenggarakan ini, membumi itu. Senjum sana, senjum sini, memamerkan pakaianku, memamerkan diriku — Diriku penuh anggaran dasar, tata-tertib, peraturan dan segala kewadjiban-kewadjibarn sebagai manusia sosial, sehingga hilang diriku sendiri. — Tapi apakah mereka tahu dan peduli apa jang bergolak dalam dadaku !? Tidak, aku tidak dapat tjinta dari mereka. Dan apakah jang lebih penting dajam hidup ini dari pada mentjari penjelesaian dalam diri sendiri terlebih dulu ?” (hal. 508).

Ia berontak terhadap routine, mentjari rangsang-rangsang baru untuk menghalau kesepiannja. „Adang terlalu tjinta pada pekerdjaannja, seolah-olah njawanja tergantung disitu. Aku bisa djadi gila dirumah ini, kosong hampa seorang diri”. (hal, 507). Ia akui suaminja selalu baik kepadanja, menimbuninja dangan harta, segala kesenangan benda ditumpukkannja dikakinja. Tapi Tati memerlukan tjinta. Dan Trisno satu-satunja laki-laki jang telah memberi arti pada hidupnja. Kepada Trisno ia berkata: „Kau merengutkan aku dari nerakaku. Aku tak peduli keneraka mana aku kau bawa, asal djangan keneraka kesepian hidup”. (hal. 508). Dan sampailah ia didaerah malam. „Malam jang indah, malam jang penuh dosa-dosa manis. Itulah dunia kita bergelimang, saling membenam diri dalam-dalam kepelukan dosa”, (hal, 506).

Tati mau membikin tradisi baru. Hidup bersuami, disamping itu seorang kekasih lain. Tapi dia tertumbuk pada tradisi lama, norma-norma susila lama. Trisno mendengarkan suara batinnja dan tak bersedia meneruskan perhubungan jang dirasakannja sebagai suatu penipuan terhadap dirinja dan dunia sekitar.

Hartati: O, penuhnja kau lagi dengan susila. Merasa berdosa kau sekarang, dosa dengar penjesalan-penjesalannja ?

Trisno: Bukan itu soalnja. Antara kau dan aku, tidak ada dosa. Kau dan aku tidak kosa memperkosa. Kita berbahagia dengan titik-titik hitam jang memenuhi muka kita. Perbuatan kita adalah tanggung-djuwab kita sendiri, jang kita mulai dengan tidak ada ketakutan, jang kita mulai dengan penjerahan keseluruhan kita masing-masing.

Hartati: Djadi apa jang kau beratkan ?

Trisno: Ketidak djudjuran kita.

Hartati: Dirimu ini penuh pertentangan, kau bilang kita tidak berdosa, tapi kau menjebut kita tidak djudjur. Tidakkah kita berdua selama ini djudjur?

Trisno: Antara kau dan aku, ja ! Tapi dunia ini bukan kepunjaan kita berdua.

Harlati: O, orang lain maksudmu.

Trisno: Kita berdua sudah mendjadi manusia jang hidup dengan dusta dan chianat.

Hartati: Sedjak kapan kau melihat begitu gelap?