Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/168

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

mereka mengerti apa jang mereka soraki (hal. 131-132). Adegan lain jang sarat dengan persoalan-persoalan rahasia kepartaian ialah perundingan antar Bung Anwar jang katanja mewakili Bung Besar dengan seorang Tamu jang partainja menghadapi kebangkrutan (hal 134-138).
 Misbach tidak mempergunakan siasat sorotan balik (flashback), tapi pada achir tjerita mentjiptakan adegan halusinasi jang merupakan sorotan balik digabung dengan kedjadian kenjataan. Dan tjara ini bisa diterima karena pelakon Bung Besar sebagai orang jang djatuh gila mempunjai dua dunia, dunia njata dan dunia bajangan pikirannja sendiri. Adegan-adegan jang banjak bertukar-tukar membikin pemanggungan mempunjai variasi jang memungkinkan perhatian terus terpikat. Penangkapan Bung Besar dan kematian Anwar dan Sri Aju pasilah merupakan klimaks jang bisa diterima dalam rangka dan psychologi tjerita.
 Moral tjerita ini? Jang bersalah harus kena hukum, meskipun kesalahan ini tidak seluruhnja tanggungdjawabnja malah mungkin ia tak tahu menahu. Dalam hal Bung Besar meskipun ia tak sadar diperalat oleh petualang, ia pernah mengchianati perdjuangan dan membunuh atasannja, maka hukumannja ialah kegelisahan jang mendjadikan penjakit djiwa dan achinja penangkapan dan pendjara karena kesalahan terlibat dalam soal korupsi besar-besaran. Dan bagi Anwar dan Sri Aju tak ada djalan lain dari bunuh diri bersama-sama, seperti halnja diktator besar abad XX Hitler bunuh diri pada saat terachir avonturnja bersama-sama dengan njai Eva Braun.
 Ketjuali tendens jang terkandung dalamnja kekualan drama ini terletak dalam perjakapan-pertjakapan jang penuh mengendap, humor jang mempunjai tenaga lontar jang dalam dan djauh. Bukan humor murah seperti menjeringai-njeringai didepan publik, tapi humor jang terlahir oleh situasi dan utjapan-utjapan serta pikiran-pikiran jang mengandung kontradiksi atau keselisihan antara berita dan kenjataan.
 Barangkali bisa disajangkan bahwa didalam drama ini tidak dipergunakan logat Djakarta dalam pertjakapan antara djongos. Tapi ini mungkin karena pertimbangan bahwa kedjadian tidak chusus terdjadi di Djakarta tapi djuga mungkin didaerah lain tanah air. Dan jang penting ialah* mentjapai seluas-luasnja daerah pembatja dengan bahasa Indonesia baru jang kita bina bersama.
 Beberapa kata Djawa menelusup kedalam drama ini jang dengan sedikit bersusah pajah bisa kita temukan dalam kamus Djawa, malah sudah pula masuk dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta jang menandakan bahwa kata-kata itu sudah seringkali ditemukan pemakaiannja dalam peredaran bahasa Indonesia. Kata-kata demikian misalnja kata „keki" jang berarti merasa tak senang, marah; (suara musik) „lapat-lapat" -- sajup-sajup, tak njata kedengaran; „nampan" buat alam, dulang; „selingkuh" -- tjurang; ber-„kaok" -- bertariak; „keder" -- bingung dan lain-lain.
 Dalam menulis dramanja ini pengarang agaknja mendapat beberapa pikiran dari film "Quo Vadis", roman Atheis dan puisi Chairil Anwar ¹), tapi semuanja itu tidak mengganggu susunan jang telah merupakan pentjiptaan sendiri.

*

 Pemenang ketiga Nasjaħ Djamin kita sudah lebih dulu kenal dengan dramanja jang djuga pernah dimuat dalam madjalah Budaya" Th. V. No. 10/11. Oktober/No-
________
¹) Letnan Nasir (rohnju) : -- tolonglah kami, teruskan perdjuangan kami, biar djiwa jang telah kami korbankan ini tidak sia* sadja. (hal. 144).
Sri Aju: Aku bilang apa rugi kau, kau sudah mati, dan disorga kau mendapat 40 bidadarl. (hal. 145).