Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/167

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Kita ikutilah pertjakapan antara Bung Besar dan promotornja Anwar ini. Bung Besar harus menghafal teks pidato jang dibuatkan oleh Anwar, tapi dia merasa muak dengan perbuatan itu.

Bung Besar: Tidak ! Tjukup sudah sampai sini sadja. Aku tak mau djadi pemimpin lagi. Aku tak mau pidato lagi Aku tak mau djadi pemimpin. Kau sadjalah !!

Anwar: Keragu-raguan seperti inilah jang membuat orang mendapat bahaja. Kita sudah merdeka sekarang, siapa lagi jang akan mendjadi pemimpin kalau bukan kita? Kau jang berdjuang, maka kaulah jang harus menerima upahnja, mengapa tidak !

Bung Besar: Tapi aku tak bisa djadi pemimpin.

Anwar: Sudah bertahun-tahun berlangsung, sekarang mendadak kau bilang begitu, apa artinja ini? Kan aku selalu ada. Ini kesempatan jang baik. Orang-orang senang mendengarkan pidatomu.

Bung Besar: Tapi itu bukan perkataanku sendiri jang mereka dengar.

Anwar: Peduli apa. Jang penting, kan mereka, rakjat semua senang mendengar apa jang kau utjapkan. Dan sementara itu kau mendapat kedudukan jang baik. Kau telah mentjapai angan-anganmu.

Bung Besar: Itulah jang aku takutkan. Aku takut segala jang telah kutjapai ini, akan lenjap punah kalau mereka tahu.

Anwar: Dan kau sedang berusaha membuat mereka tahu, insaflah itu. Dengar, turutilah seperti biasa segala nasehaitku. Tjukup! (hal. 129).

Dan apabila Bung Besar berkata bahwa ia bermaksud akan beladjar dulu soal-soal politik sedalam-dalamnja dan kemudian baru akan kembali djadi pemimpin, berkatalah Anwar mendesak mejakinkan :

„Tapi sementara itu, orang-orangpun telah mendjadi bertambah pandai. Dan kau asjik djuga dengan mengedja-edja peladjaran politik dari roman pitjisan. Kesempatan tak akan datang saban hari, kawan. Sementara masih bisa berdiri, berdirilah. Semua tak akan tetap. Jang kemarin benar, ingatlah, belum tentu sekarang masih tetap betul. Dan sekarang inilah kesempatan kau. (hal. 129).

Tjerita ini berputar pada Bung Besar alias Bung Karim jang tinggal divilla jang mewah, tapi hidupnja senantiasa dalam ketakutan dan kebingungan. Dia merasa seperti diintip terus-terusan dan mendengar suara-suara jang orang lain tidak dengar. Dari perkenalan kita lebih landjut tahulah kita bahwa Bung Besar dulunja sebenarnja sersan dalam tentara, tapi dia mengaku kapten. Dia membunuh atasannja Letnan Nasir untuk mendapatkan isterinja, Sri Aju. Dikatakannĵa bahwa letnan itu gugur ditembak Belanda.

Bung Anwar jang sekarang ini mendjadi penasehat Bung Besar adalah seorang petualang jang dimasa Belanda mengchianati perdjuangan tapi sesudah merdeka mempergunakan Bung Karim untuk maksud-maksudnja mengedjar keuntungan. Karena saling mengetahui rahasia masing-masing keduanja saling bergantungan, dorong-mendorong dalam permainan kehidupan jang telah sekali mereka mulai, tak ubahnja seperti dua pendjahat jang tak dapat berpisah karena jang satu terantai pada jang lain. Anwar mendjadikan Karim ketua partai, tapi tanpa setahu Karim partai ini mempunjai perusahaan-perusahaan jang banjak mendatangkan untung bagi Anwar sendiri. Rakjat pertjaja karena mereka mengenal Karim sebagai bekas pedjuang.

Antara Anwar dan Sri Aju terdjadi hubungan rapat dan mereka bersekongkol mendjatuhkan Karim alias Bung Besar.

Adegan jang bagus sekali dalam drama ini ialah latihan pidato untuk perletakan batu pertama buat asrama penderita tjatjat oleh Bung Besar jang tidak mengerti sendiri apa jang dipidatokannja dengan dihadiri oleh djongos-djongosnja jang bersorak tanpa147