Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/142

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

jaitu kedua orang itu tidak demikian tersangkut" didalam situasi itu, sehingga mereka djuga tidak akan mempunjai suatu prasangka seperti sopir Djokja itu.

Telah ber-kali kita melihat bahwa dasar prasangka tordiri dari suatu sikap dan kejakinan jang tidak wadjar; kadang kedua hal ini dapat dibedakan dengan djelas, akan tetapi sering kedua hal ini saling terdjalin, artinja jang satu djustru ada karena jang lain. Perdjalinan dari sikap dan kejakinan ini tampak dengan djelas dari dialoog jang berikut, jang saja kutip dari buku Gordon W. Allport The nature of projudice" (1955, p. 13. Cambridge, Massachusetts);

Tuan A: Soalnja dengan orang Jahudi ialah bahwa mereka hanja memikirkan golongan mereka sendiri.

Tuan B: Tetapi melihat hasil campagne terachir untuk mengumpulkan uang bagi orang miskin diwilajah kotapradja, ternĵata lagi bahwa orang Jabudi dalam perbandingan memberi lebih banjak derma daripada orang jang bukan Jahudi.

Tuan A: Terang, mereka memang selalu menijoba untuk membeli djasa2 dan mereka djuga selalu berusaha menerobos dalam lingkungan orang Keristen. Mereka hanja memikirkan uang itulah pula sebabnja bahwa sekarang terdapat demikian banjak orang Jahudi jang mendjadi pemilik sebuah bank.

Tuan B: Tetapi didalam suatu penjelidikan jang baru diadakan terjata bahwa djumlah orang Jahudi jang tersangkut dalam pekerdjaan bank hanja ketjil sekali dan tidak berarti.

Tuan A: Itulah mereka tidak memiliki perusahaan2 jang respektabel; mereka hanja mengeksploitasikan perusahaan film alau nigh!-clubs.

Kesimpulan apa lagi jang dapat kita tarik dari dialoog tsb. diatas? Usaha2 dari tuan B untuk mendekatkan tuan A dengan orang Jahudi gagal sama sekali, oleh kareng tuan A ini berpegang teguh pada sikapnja untuk mengetjilkan orang Jahudi itu, la merasionalisasikan tiap2 kesempatan jang diberikan kepadanja guna melihat orang Jahudi itu dalam bentuk jang sesungguhnja, ia mengingkari tiap2 momen-realitet jang disodorkan kepadanja oleh to. B. Tuan A tidak mendekati orang Jahudi menurut realitet jang sebenarja, ia hanja borsedia untuk berpangkal pada pendirian2 pribadinja. D.l.p. ia tidak bersedia untuk bertemu dengan orang Jahudi. Memang, suatu aspek lain dari prasangka ialah ketidak-sodiaan untuk bertemu dengan orang-lain, jang selalu berarti bertemu dengan orang-lain itu menurut ada-nja sendiri, sehingga didalam hal prasangka kita berdjumpa dengan suatu keadaan dimana kita tidak menghormati melainkan merendahkan orang-lain. Tetapi apakah sebenarnja artinja bagi kita sendiri, apabila kita tidak menghormati orang-lain ?

Dari renungan2 kita jang telah lalu, audah tjukup djelas bahwa manusia ialah simachluk jang hendak ditemui dan hendak bertemu dengan orang-lain, sambil mengutip kata J.H. van don Borg. Baru didalam pertemuan ini simanusia mendjadi sadar akan eksistonsinja, akan tetapl realisasi ini djuga mengimplikasikan bahwa kita terbuka bagi orang-lain itu, djadi suatu kesediaan untuk bertemu dengan orang-lain itu, Disinilah berakar hormat atau respekt kita terhadap orang lain; bila hormat bagi orang-lain itu hilang, maka kila manguijilkan orang-lain itu dan ini serentak berarti bahwa kita djuga mongutjilkan diri kita sendiri, djadi kita tidak ,,mengambil bagian atau turut-serta", dan djustru hal ini hanja mungkin terwudjud didalam pertemuan. Dan djuga hanja seljara demikian kita ada didalam-dunia, artinja dengan demikian kita merealisasikan hakekat kita sendiri. Djadi, apabila kita, seperti pada prasangka ladi, mengujilkan orang-lain itu dan tidak menghormati orang-lain itu, maka kita merendah- kan diri kita sendiri, bahkan, djustru oleh karena kita tidak menghormati diri kita sendiri, artinja oleh karena tidak dapat menerima diri kita sendiri, kita juga tidak sauggup menerima orang-lain. Supaja dapat menerima diri kita sendiri, dibutuhkan