Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/121

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

takut bertjampur puas. Seolah ia telah melakukan suatu djasa baik terhadap manusia tanpa mengharap gandjaran.

Pagi jang kesekian ratus barangkali dari sekian hudjan jang pandjang, semangat pertemuan2 pagi itu tak kundjung libur. Seolah masing² tak melihat sesuatu dalam diri mereka. Gadis itu memamerkan sebuah lelutjon dari perutnja jang tersembul dari badju jacknja jang tipis, kotor dan memelas. Kini bukan lagi bentuk bulat jang tampak dari keseluruhan potongan tubuh itu. Tapi djadilah bentuk jang mengerikan. Kepala jang gepeng itu seperti menempel diatas perut Cello, ialah sebuah alat musik jang gemuk, dan kedua kakinja jang pendek itu seperti kaki ajam kate. Ia berdjalan bebek dari arah angin disana dengan kedua tangannja memegangi perutnja didingin hudjan pagi menudju djendela sempit. Sedjak hari itu ia tak lagi melompat dari atas sepeda.

Ia datang meng-endap2 sebentar dan mendjengukkan kepalanja (berhubung perobahan badan itu) tak mungkin lagi lebih dari empat puluh deradjat. Ia me-ngedip2kan matanja seolah mau mengorek seluruh isi dalam djendela gelap itu. Lama ia berbual begitu dan antara sedikit kelihatan perobahan mukanja dari meringis jang berat kegambaran ketjewa jang sangat. Diangkatnja kepalanja keatas melihat papan nama,seolah ia tak pertjaja pada penglihatannja sendiri. Hudjan bulan imlek merintjik lembut menaburi kepala mahluk itu. Ia melihat hudjan itu tapi tak merasakan. Sekali lagi kepala itu mendjenguk kedalam djendela jang masih djuga gelap oleh mendung diluar. Terbajang pada muka itu keketjewaan jang sangat. Ia tegak. Menoleh kekanan kekiri, ketembok putih jang umes dimukanja. Kemudian pada kelompokan orang2 jang berteduh kedinginan disepandjang teritis kantor. Orang2 itu sama tak mengerti dan taktahu bahwa mereka djuga djadi sebab kebentjiannja kini. la mendjenguk lagi kedalam. Dipaksanja lubuhnja menijapai sembilanpuluh deradjat sambil sakit menekan beban berat itu dengan tangannja, seolah kuatir beban itu akan runtuh. Kepala gepeng itu kini membajangkan jang aneh. Meski air hudjan itu meleleh djuga di-sela2 hidung dan pipinja, namun dari tjairan2 itu aku bisa membedakan: mana air langit mana airmata. Sekali ini mulut hitam itu ber-gerak2. Tapi tak tegas. Pergerakan seperti diluar kekuasaannja. Hal ini hampir2 tak tertahankan. Tiba² dari djendela sempit itu muntjul sebuah kepala, dan seketika terbias muka gadis itu djadi berstri. Tapi karena kepala jang muntjul bukan kepala jang diharapkan, maka muka itu djadi menjala dan dengan nanar lagi ia menalapnja. Tersimpul sesuatu geram jang hebat. Seolah ia mau menjemburkan bisa kemarahannja habis2.

——Mana día, lekas katakan 1 Orang jang punja kepala didjendela itu sedikit gugup.

——Tapi lantaran tuanja tiba2 orang itu mendjawab dengan pasti dan sedikit masgul.

——Dia tidak datang. Mungkin seterusnja dia tidak datang !

Tidak datang ? Seterusnja ? Apa kau katakan? Pintu djendela itu tiba² tertutup dari dalam. Dan dengan sekuat tangan di-gedor nja pintu itu keras2 sambil berteriak2 setengah menangis. Orang2 sekitar tempat itu mengarahkan perhatian mereka kepusat djendela. Gadis itu terkulai dengan tangisnja jang pandjang dibawah djendela. Dipeluknja daun djendela itu kuat2 seperti memeluk kekasih berangkat mati.

Hudjan makin menderas. Beberapa anak sekolah jang ketinggalan didjalan berlari andjing menudju teritis Kantor. Lalu awan hitam menutup, udara gelap. Seolah pikiran manusia mau dibudjuknja dengan halus, bahwa malam sudah turun. Memanglah malamı sudah menurun ketika manusia sudah melupakannja.

Melupakan kedjadian, dimana mereka sebentar melihat tentang rintjik hudjan, anak2 sekolah, kedinginan dibawah teritis dan sebuah tangis dibawah djendela. Langit sore reda dan memberi bajangan penghabisan pada dunia. Manusia2 mungkin sudah dirumah masing2. Berijanda dengan isteri dan anak2 mereka. Mungkin pula mereka