kejauhan, magrib menjelang.
***
Ar-Rahman...
Kupandang Toni dengan tatapan sayang. Dalam dua bulan, Toni hafal lima belas ayat surat Ar-Rahman. Dia menghafal dengan cara mendengar dari kaset karena dia masih belajar iqro. Dia juga mulai salat dengan bacaan yang benar. Ar-Rahman surat yang melembutkan hati.
Tak biasanya, selesai menyetor hafalan dia menunduk, wajahnya mendung. Tak ada acungan dua jempol saat mengakhiri bacaan. Tidak juga lafaz takbir kemenangan saat hafalannya bertambah. Saat mengangkat kepala, aku kaget ada aliran hangat membelah kedua pipinya. Dengan sabar kutunggu dia bersuara.
"Da, mungkin ini pertemuan kita yang terakhir. Ton harus pergi, Ton takut," kata-katanya tersendat berusaha melawan emosi. Kugenggam erat tangannya mencoba membagi beban. Kubiarkan dia terus bercerita, tak berusaha menyela.
"Ton harus pergi jauh," tatapnya nanar.
"Mengapa Uda diam?”
"Uda yakin, Ton akan bercerita kalau punya masalah karena Uda tahu siapa Ton," dengan senyum kutatap Toni, mencoba berempati.
"Da Kaing tertangkap, Ton takut, kapok di penjara. Ton harus pergi jauh."
"Ton lupa janji, Ton?"
"Ndak. Ton ndak lupa, tapi ada hal yang Ton khawatirkan. Jika tertangkap, aku mungkin tak bisa belajar lagi," Omongannya terhenti sesaat.
"Ton sering keluar masuk penjara. Kalau ditangkap lagi akan dibuang jauh. Tidak bisa dan tidak lagi melihat wajah-wajah bersih yang selama ini meneduhkan. Tolong, Ton, Da..!"
Kueratkan lagi genggamanku. Hatiku tersayat, ucapannya terasa benar. Ada keinginan untuk membantu pelariannya. Dengan ini, berarti aku bersekutu dalam kejahatan. Hatiku bimbang, ingin membantu dan berbuat adil.
"Ton ingat omongan Uda, kan? Allah ada di mana-mana,
84