Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/95

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

keterikatan hati yang kuat.

Dalam obrolan aku tidak pernah menyinggung kebiasaannya dulu. Sampai ia dengan heran bertanya mengapa aku tidak pernah menanyakan kebiasaan lamanya. Saat ini kami duduk di sebuah dangau persawahan belakang rumah. Dengan senyum aku menjawab, "Karena Uda tahu pasti, Toni tidak akan mencuri."

"Uda ndak ingin tahu?" Keningnya mengerut.

"Hanya kalau Toni bersedia bercerita."

"Ton sudah cerita sama Uda, kalau ndak pernah ngaji, ndak bisa baca Quran. Bahkan, ndak ingin belajar hingga suatu hari..., Ton ingat Ramadan memasuki minggu kedua. Saat salat Subuh, Uda imam dan membaca surat..., Ton ndak tahu apa, tapi ada yang teringat. Fabiayyi ala irabbikuma tukadziban. Uda sering mengulangnya. Saat itu aku tidur di lantai dua dan terbangun. Ada perasaan lain menyelinap, rasa ingin menangis juga. Entahlah, Ton ndak tidur lagi sampai salat Subuh selesai. Bahkan, saat musala telah lengang"

Sesaat ceritanya terhenti ketika seekor belalang hinggap di kakinya. "Sebelum pulang Ton lewat depan wisma bangsa dan mendengar lagi suara tadi. Karena enak, besok pagi aku salat Subuh di musala walau selama ini ndak pernah salat. Sebenarnya tidak bisa, Ton cuma ikut imam. Ton berharap, Uda imam dan membaca ayat Fabiayyi."

"Surat Ar-Rahman," kataku dengan tersenyum. Dia juga.

"Ton kecewa, ternyata Uda ndak ada dan imam tidak membaca Ar-Rahman. Ton pulang lagi kayak kemarin, eh ada yang baca. Sejak saat itu, setiap pagi aku suka duduk di sana. Selama ini tidak pernah ketahuan sampai Uda melihat. Ton takut dikira maling, digebukin. Ton sudah kapok."

Subhanallah, hatiku tersentuh. Ternyata hatinya begitu lembut. Mahasuci Allah. Tiba tiba aku ingat betapa selama ini tidak mempedulikannya. Menganggap sosok tujuh belasan itu terlalu jahil dan jauh dari hidayah Allah. Ampuni aku, Ya Allah. Maafkan Uda, adikku. Kurengkuh tubuhnya, kucium kepalanya. Air mataku jatuh, hangat di kepalanya.

"Eh, Uda mengapa menangis?" Dia mengangkat kepala dan menatapku heran. Aku menggeleng, tersenyum. "Uda sayang Toni," kugandeng tangannya. Azan terdengar di

83