buta di depan kamar ini dan mengapa ia takut melihat kedatanganku.
Aneh, hanya itu yang kurasakan. Aku yakin dia tidak akan mencuri walau kucukup tahu masa lalunya nan kelam. Masih terbayang dalam benakku saat baru menghuni wisma bangsa ini. Tubuh seorang remaja digelandang sepanjang jalan Dr. Soetomo. Tubuh berdarahnya bisa diamankan setelah kedatangan pak lurah. Tidak cuma itu, selama satu tahun menghuni wisma bangsa sudah tiga kali remaja tanggung tersebut diciduk keamanan desa dengan tuduhan berjudi dan merampok.
Seiring perjalanan waktu, ternyata aktivitas dakwahku tidak menyentuh sosok si pemuda yang bernama Toni ini. Seakan-akan dalam jiwaku ada keengganan untuk mendekatinya. Tidak tahu pasti mengapa. Mungkin karena catatan hitam perjalanan hidupnya atau hatinya telah tertutup untuk sebuah kebenaran. Mungkinkah sebuah kesalahan? Entahlah.
“Assalamualaikum, maaf, jangan lari dulu. Uda ingin berkenalan. Nama uda, Hafiz,” dengan senyum kuulurkan tangan mencegah kepergiannya. Hari keempat ketika dia kembali duduk di depan wisma.
“Toni, maaf, saya buru-buru.”
“Tunggu, saya tahu, Saudara cuma segan. Jangan malu, masuk dulu. Setelah pertemuan yang kesekian kali, saya yakin ini petunjuk Allah, kita harus saling kenal.”
“Tapi, saya malu dan takut,” Toni tetap menolak. Senyumku mulai membuatnya ragu. Dengan merengkuhnya pelan, kami beriringan masuk. “Subhanallah, Hafiz, pagi-pagi sudah dapat berkah.” Hasan teman satu kamar menyambut, menyalami aku dan Toni, kemudian berlalu ke belakang. Tak lama muncul lagi ia dengan tiga cangkir teh. Kami berbincang hingga jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi.
Dari pertemuan pertama, aku makin karib dengan Toni. Walau jarang bertemu karena jadwal kuliah dan aktivitas yang padat, kami selalu menyempatkan berbicara selepas Isya. Salat berjamaah di musala samping rumah dan menghabiskan waktu mengobrol hingga pukul 21. 30. Ada semacam
82