Lompat ke isi

Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/60

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

kembali menenangkan diri sebentar, tapi dari matanya masih mengalir air mata.


“Dulu, seminggu setelah kepergianmu, ia diganggu oleh anak-anak nakal yang pernah kauhajar. Mereka menertawai Mirna. Bahkan, melemparnya dengan kerikil. Akibatnya, ia takut pergi main ke rumah si Leni. Ja ingin agar kamu memperingatkan mereka dan ia mencari-carimu ke surau. Ibu sudah mengatakan, kamu sudah pergi ke Jakarta, tapi ia tak percaya. Katanya, kamu tak pernah mengatakan padanya, kalau kamu akan pergi.


“Ya, Tuhan. Jadi, semua ini salahku,” sesalku makin menjadi. Aku ingat dulu, aku memang tidak mengatakan kepada Mirna, kalau aku akan pergi. Aku takut ia tak merelakan aku pergi. Maklumlah, selain Leni, hanya akulah temannya.


Orang-orang tak mau mendekatinya. Mereka pikir Mirna hanyalah manusia tak berguna dan menyusahkan. Ia tak bisa apa-apa. Tapi, tidak bagiku, Mirna itu adalah manusia berhati suci meskipun ia sering menerima ejekan dan perlakuan kasar. Di hatinya tak pernah secuil pun tersimpan rasa marah ataupun dendam. Itulah sebabnya, mengapa aku bersumpah akan melindunginya seumur hidupku. Tapi, yang terjadi sekarang.


“Lalu, mengapa Ibu tak memberi tahuku,” tanyaku lemas.


“Bukannya Ibu tak ingin memberi tahu, tapi Ibu tak ingin kamu juga menanggung beban ini. Ibu tidak ingin masa depanmu juga hancur karena peristiwa ini. Ibu tak ingin kamu gagal meraih cita-citamu. Ibu tak ingin semua kesedihan terus mendera keluarga kita,” Ibu menjawab parau.


Teras sepi, yang ada hanya semilir angin sawah yang serasa Ingin menenangkanku. Suasana sunyi, matahari yang terik rasanya semakin membakar gusarku. Aku diam dan Ibu pun begitu. Pandangan Ibu kosong, tatapan matanya menyiratkan keletihan yang dalam akibat menanggung beban yang berat ini. Ditengah keheningan kami tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah.


“Siapa itu, Bu?” tanyanya penasaran. Ibu hanya diam tak sanggup menjawab. Merasa tak mendapat jawahan yang memuaskan, ia keluar dan sekarang berdiri di dekat pintu. Ia

48