Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/59

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Seperti kehilangan orang yang dicintai. Aku semakin bingung.

“Ada apa, Bu, ada apa ini? Tolong jelaskan pada saya,” aku pun mulai panik dan tanpa disadari aku pun larut dalam keharuan itu. Mataku memerah. Namun, aku masih belum mengerti apa yang terjadi.

Aku diam dan membiarkan ibuku menangis, menumpahkan semua yang dipendamnya selama ini di dalam hati. Lebih kurang seperempat jam Ibu menangis dan aku tidak berusaha untuk menenangkannya. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?" tanyaku geram di dalam hati. Tangis Ibu mulai mereda, sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Sekarang ia hanya sesenggukan sambil sesekali mengusap air mata.

“Ada apa, Bu?” sekarang aku harus berani bertanya. Aku tahan lagi harus didera rasa penasaran ini. Ibu masih diam sesaat. Namun, kemudian ia menjawab, ia mengambil napas sebentar.

“Bajingan itu yang telah kau anggap sebagai mamak, ia telah, telah, telah...”

“Telah apa, Bu?” sekarang suaraku mulai meninggi, mendesak mimpi-mimpi buruk mulai menari liar.

“Ia telah memperkosa adikmu,” tangis Ibu kembali meledak. Astaghfirullah, badanku rasanya langsung bergetar, seperti disambar petir. Kepalaku pusing, rasanya mau meledak. Hatiku galau, kacau, gusar, marah, dendam, iba, semuanya menyatu. Badanku rasanya lemah dan lemas seketika itu juga. Mataku memerah dan tanpa kusadari aku Rasanya sekarang aku benar-benar tak berdaya.

"Tuhan, mengapa Engkau memberi cobaan berat ini, tidak cukupkah Engkau mengujinya dengan memberi cacat yang dibawanya sejak lahir. Mengapa harus ia lagi yang menanggung. Mengapa tidak aku saja, terlalu banyak beban yang ditanggungnya, Ya Tuhan.” Sesal-sesal serasa mengalir di tubuhku ini.

Dengan sedikit tenagaku kembali menanyai ibu, "Lalu di mana bajingan itu sekarang?” tanyaku gusar. Dengan tangisan Ibu menjawab.

"Ia sudah diusir ayahmu.”

Bagaimana ini bisa terjadi, Bu?" tanyaku lagi. Ibu

47