Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/58

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

“Bagaimana mamakmu? Apakah mereka sehat-sehat saja? Adakah mereka membantumu di sana? Sudah sembuh, Mak Thamrin, katanya, ia kecelakaan, ya?” tanya Ibu bertubi-tubi kepadaku.

“Mamak sehat-sehat saja, Bu, Mak Thamrin pun sekarang sudah bisa jalan. Mereka semua sering sekali membantu aku, Bu,” kujawab dengan tenang.

“Ooo, syukurlah,” jawab Ibu.

“Oh, ya, Bu, ini aku bawakan oleh-oleh, untuk Ibu, Ayah, Mirna, dan ... seketika aku ingat Mak Umar. Di mana Mak Umar ya,” batinku bertanya.

“Bu, Yusuf ke surau dulu, ya, Bu,” seketika aku berdiri, berjalan ke samping rumah dan dengan agak berlari aku menuju ke belakang rumah, ke surau. Dari belakang aku bisa mendengar suara Ibu yang agak berteriak.

“Yusuf, tunggu dulu, ada yang mau Ibu bicarakan.”

“Nanti saja, Bu,” aku juga menjawab dengan agak keras. Kali ini rasa rinduku pada Mak Umar sudah tidak terbendung lagi. Aku sudah sampai di belakang rumah. Tapi, di mana kebun ubi, lalu mengapa surau kotor sekali. Sampah berserakan, ilalang yang tumbuh mulai menutupi dinding surau. Tidak biasanya Mak Umar seperti ini. Aku berteriak memanggil Mak Umar. Tapi, tak ada sahutan. Kucari ke sawah, ke sumur, tapi hasilnya nihil. Seketika itu, pikiran buruk melintas di benakku.

Aku kembali ke teras, ke tempat ibu. Dengan wajah yang lesu, aku bertanya kepada Ibu. “Mak Umar di mana, Bu?” tanyaku Jetih, Ibu hanya diam, wajahnya rusuh dan di matanya terpancar sinar marah, dendam, dan sesal. Tidak pernah begini. Aku makin cemas, apa yang terjadi pada Mak Umar. Sudah lima menit Ibu bungkam dan aku pun begitu. Rasa ingin tahuku rupanya sudah tidak terbendung lagi.

“Ibu, di mana Mak Umar?” Aku bertanya selunak mungkin. Ibu masih diam.

“Buat apa kamu tanyakan bajingan itu?” suara Ibu

meninggi atau tepatnya, ibu memekik. Melihat ini aku tak berani bertanya lagi. Aku diam. Namun, pikiranku galau dan dipenuhi ribuan tanya. Kulihat wajah Ibu memerah, kacau, dan tangis Ibu meledak. Ibuku menangis histeris persis,

46