Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/57

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Sambil makan ubi, biasanya ia akan bercerita tentang masa mudanya dulu. Uhmm...

Sungguh masa-masa yang menyenangkan.

“Sudah sampai, Dik,” suara sopir taksi menyadarkanku dari lamunan.

“Oh, eh, iya,” jawabku gugup karena terkejut. Aku mengeluarkan uang tiga puluh ribu yang sudah sejak tadi kusiapkan, sesuai dengan negosiasi kami tadi. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mengangkat bawaanku ke depan rumah.

Aku berdiri tegak sebentar menghadap rumahku. Kuhirup dalam-dalam aroma yang sejak dulu kurindukan. Aroma sawah dan aroma ternak. Uhh, rasanya Jega sekali. Aku menatap rumahku. Rumah kecil dengan tiga kamar dan sebuah teras yang tidak terlalu luas. Rumahku memang menyendiri dan agak jauh dari tetangga. Maklumlah, aku tinggal di kawasan pinggiran Kota Padang. Rumahku dikelilingi sawah dan halaman rumahku yang cukup luas itu ditanami beberapa pohon kelapa, bunga-bungaan, dan tanaman buah, seperti mangga, belimbing, dan rambutan.

Setelah puas melepas rindu, aku masuk ke halaman. Di teras, di atas bangku panjang dari bambu, kutemukan ibu. Ia sedang tidur. Kuletakkan bawaanku dan aku berjalan ke dekat ibu, "Bu, Bu..Bu. Yusuf, Ibu” aku memanggil Ibu dengan suara lunak, Ibuku langsung terbangun. Ja langsung duduk karena terkejut. Ia mengusap-usap matanya, dan “Astagfirullah, Yusuf, kapan kamu datang?”

Kemudian ibu mendekapku, erat sekali, uhm... sudah lama aku merindukan dekapan hangat ini. Di pundakku, aku bisa merasakan tetesan air mata ibu. “Ibu, mengapa Ibu menangis?” tanyaku lembut.

"Ibu menangis karena Ibu bahagia, Nak. Sudah lama sekali Ibu tidak melihatmu, Ibu rindu sekali, Nak," jawab ibuku.

“Saya juga rindu, Bu” ujarku lemah. Setelah menangis sesegukan, Ibu kembali ceria dan kembali bertanya kepadaku.

“Bagaimana kuliahmu, sudah selesai?”

"Belum, Bu. Insya Allah, setahun lagi selesai."

45