Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/55

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

gadis belasan tahun yang menderita kebutaan dan cacat mental sejak kecil. Memang dulu aku sudah mencoba mengirimi surat beberapa kali, tapi tak pernah dibalas. Sejak saat itu, komunikasi antara aku dan keluarga terputus sama sekali.

Waktu kecil sebenarnya aku tak pernah bercita-cita menjadi dokter, menjadi pilot lebih menarik perhatianku. Tapi, saat aku kelas dua SMA, hatiku terenyuh. Aku tak tahan, ketika harus melihat ayahku, yang biasanya menjadi tulang punggung keluarga, meringis menahan sakit akibat rematik kronis, sedangkan saat itu kami tidak mempunyai uang yang cukup untuk berobat ke dokter. Sejak saat itulah, di hatiku terpatri, aku harus menjadi dokter bagaimanapun caranya. Untunglah, ketika aku akan pergi ke Jakarta dulu, dengan bantuan Mak Taibah, dukun yang bisa mengurut tulang di kampungku, ayah sudah berjalan meskipun agak tertatih-tatih. Tetapi, untuk mengolah sawah, sepertinya ayah sudah angkat tangan. Bersyukur sekali di rumahku ada Mak Umar.

Dialah yang mengolah lima petak sawah keluargaku, sejak sakit ayah kambuh. Biasanya, sepulang sekolah aku dan Nurman, sahabatku, membantu beliau. Sebagai imbalannya, Mak Umar akan mengajari kami bermain suling batang padi atau membakar ubi yang ditanam di pematang sawah. Kadang-kadang ketika tiada kerjaan, Mak Umar mengajak kami memancing ke empang yang ada di belakang rumah Nenek Janah. Di sana banyak sekali ikan mujair. Biasanya, kami berebutan dengan anak-anak yang juga ingin memancing. Tapi, itu tak masalah karena Mak Umar itu sangat pandai memancing. Ia tahu di mana ikan-ikan berkumpul sehingga tidaklah heran, ketika pulang sorenya kami bisa membawa sekitar dua puluh ekor mujair sebesar tiga jari telunjuk. Meskipun tidak banyak, setidaknya bisa untuk menambah lauk-pauk di rumah.

Sebenarnya, Mak Umar bukanlah mamak kandungku. Ia ikut dengan keluargaku, ketika ia berumur lima tahun. Kata kakek, orang tuanya meninggal karena kekejaman PKI. Tapi, aku tak peduli meskipun bukan mamak kandung. Aku lebih dekat dengannya daripada dengan mamakku yang lain. Hagiku, ia bukan sekadar seorang mamak, tapi juga seorang

43