Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/54

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

untuk secepatnva bertemu dengan keluarga. Keluarga yang sudah lima tahun kutinggalkan.


Terminal ini masih asing bagiku. Dari sini, aku tak tahu harus naik mobil apa lagi untuk sampai ke rumah. Aku tak mau ambil risiko, kalau harus malu tersesat di kampung halaman sendiri. Memang, di sini banyak mikrolet berwarna kuning, tapi seingatku, di depan rumah tak pernah ada mikrolet lewat yang berwarna kuning. Aku tak mau buang-buang waktu. Aku langsung berinisiatif untuk naik taksi saja. Aku yakin sopir taksi pasti tahu rumahku. Setelah sedikit negosiasi, akhirnya taksi pun melaju membawaku pulang bersama setumpuk rasa rindu keadaan ayah, ibu, Mirna, adikku, dan Mak Umar.


Namaku Yusuf. Meskipun wajahku tak setampan Nabi Yusuf, tetapi Allah memberiku rahmat dengan kepintaran yang lebih menonjol. Itulah sebabnya, mengapa aku berada di Jakarta dan meninggalkan keluargaku. Di sana aku sedang menyelesaikan kuliahku di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Insya Allah, satu tahun lagi aku akan diwisuda. Semula aku tak menyangka, kalau aku masih bisa melanjutkan pendidikan. Jangankan kuliah di UI, di universitas yang ada di Padang saja, rasanya keluargaku tak mampu membiayai. Untunglah, aku bisa mendapatkan beasiswa dan dengan bantuan yang kuterima dari mamakku yang ada di sana, aku mencoba untuk terus menuntut ilmu walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Maklumlah, mamakku yang ada di sana tidak bisa membantu banyak karena kehidupan mereka juga termasuk susah untuk kehidupan orang Jakarta.


Dengan segala kekurangan itu, tidaklah heran kalau aku tidak pernah pulang selama lima tahun terakhir. Apalagi, jadwal kuliah sangat menyita waktuku. Kadang-kadang, memang rasa rindu kampung halaman bergemuruh di dadaku. Namun, aku terus mencoba memendamnya sedalam mungkin dengan terus menyibukkan diri. Aku juga tidak heran, kalau keluargaku tak bisa mengunjungiku karena aku sendiri mengerti keadaan ekonomi mereka. Kalau berkirim surat, itu tak mungkin karena ayah, ibu, dan Mak Umar buta huruf, sedangkan Mirna, apalah yang bisa diharapkan dari



42