Halaman:Balerina Antologi Cerpen Remaja Sumatra Barat.pdf/48

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

menambah ilmu.

“Mia, ke perpustakaan, yuk, membaca seri tokoh dunia, mungkin ada yang baru,” aku mencoba membangkitkan semangatnya. Ia hanya menggeleng dan pergi berlari meninggalkanku. Perasaan sesak di dadaku telah mampu menumpahkan air mataku. Tak bisa kubayangkan apa yang aku alami. Aku menangis di kelas yang sepi ini.

Bel pulang lima menit lagi akan berbunyi. Kuseka air mataku. Lalu beranjak meninggalkan kelas menuju kamar mandi untuk cuci muka. Setelah cuci muka di pojok ruangan, kulihat Mia menangis tersedu-sedu. Butir bening itu terus meleleh di pipinya.

“Mia.....,” aku memanggilnya. Ia menoleh, lalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa menahan air mata. Teka-teki semacam apa ini? Sandiwara apa ini? Aku benci.

Lamunanku buyar setelah sayup-sayup kudengar bel pulang berbunyi. Kulihat isi kelasku telah kosong. Kuraih tasku, lalu pergi membawa sejuta kepedihan.

Aku merebahkan badan di atas spring bed empuk beralaskan sprei pink berbunga. Peristiwa yang baru kualami itu masih menari-nari mengikuti gerakan bola mataku.

“Mia, apa artinya semua ini?” Aku bicara sendiri. Butir bening kemudian bergulir menuruni pipiku. Aku menangis untuk beberapa saat lamanya.

“Rin, ada telepon dari Mia.”Aku terkejut dengan omongan sepintas itu.

“Halo,” aku membuka pembicaraan.

“Rin.”

“Ya, aku Rini, Mia,” ucapku. Lalu kudengar suara tangis di seberang sana. Mendengar tangis pilu itu, aku pun ikut menangis. Kemudian teleponnya ditutup. Aku berlari ke kamar dan menangis lagi. Mengadu pada bantal yang takkan pernah menolongku.

“Rin, mungkin Mia benci padamu,” celoteh salah seorang temanku.

“Atau ia tak membutuhkanmu lagi. Bisa juga ia tak menganggapmu seorang sahabat lagi. Bisa juga ia tak menganggapmu seorang sahabat lagi?” Mendengar semua itu hatiku menjerit. Tak mungkin, ini tak mungkin, aku

36