tidak setuju uni atau uda tinggal di kampung?" tanya wanita yang biasa dipanggil Lis itu tak kalah keras. Mungkin wanita itu tak mampu lagi menahan luapan emosinya.
Lalu, dialog antara dua insan tadi selesai begitu saja. Sebab, mereka sama-sama ragu untuk melanjutkan pembicaraan. Lis takut, kalau sikapnya yang apatis terhadap Paman Gindo membuat lelaki itu tersinggung dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Lis sadar, kalau ia belum memiliki lelaki dewasa yang bisa membantunya dalam urusan dengan keluarga. Apalagi, kedudukan suaminya dalam keluarga Lis tidak seberapa. Bagaikan abu di atas tungku, bisa terbang kapan saja.
Begitu pula dengan Paman Gindo. Ia sebenarnya ragu untuk menyakiti hati Lis, kakak perempuan satu-satunya. Ia takut, apabila iparnya tersinggung dengan perangai yang ia lakukan. Tapi, apa boleh buat, tanah-tanah kaum mereka laksana daging yang teronggok di atas piring. Selalu mengimbau-imbau agar mereka disantap.
Dengan memekakkan telinga dari jerit tangis sanak saudara, Paman Gindo tetap menari di leluas tanah. Kemudian makan dengan sekenyang-kenyangnya. Lalu tertidur pulas dan bangun untuk makan kembali. Begitulah sehari-hari Paman Gindo menghabiskan waktu. Makan tanah, minum tanah, merokok tanah.
Sebenarnya, penyakit Paman Gindo telah diobati. Tidak sedikit dukun yang diundang untuk menyembuhkannya. Sebab, menurut orang-orang kampung kami, hanya manusia "pintar" dan "berkepandaian" yang bisa menyembuhkan. Namun, setelah dicoba sekian kali. Hasilnya tetap saja nihil alias nol koma nol. Bahkan, seluruh dukun yang pernah menangani penyakit Paman Gindo berserak liurnya karena diserang dari belakang.
Seluruh keluarga sudah bosan mencarikan obat dan orang pintar agar dapat menyembuhkan Paman Gindo. Makanya, mereka membiarkan begitu saja perangai lelaki ini. Mereka telah menarik benang merah. Biarkan Paman Gindo tetap melahap tanah. Sebab, suatu saat nanti, lelaki itu pasti akan dimakan tanah. Jadi, selagi sisa-sisa napas bergelayutan di denyut nadi tubuhnya, biarkan penyakit makan tanah itu
3